Wednesday, July 5, 2017

Strategi Membangun Kekakayan Tanpa Riba part9

PERTANYAAN 9
DI LEVEL MANAKAH ANDA BERMAIN?

Anda masih ingat suasana Krisis Moneter 1997? Harga barang melambung,
sejumlah perusahaan besar gulung tikar, dan banyak orang terancam jadi
pengangguran. Di saat itulah, Indonesia panen pengusaha dadakan. Orangorang
yang terkena PHK banting stir menjadi pengusaha karena terdesak
kebutuhan. Tak ada yang salah dengan pilihan menjadi pengusaha. Hanya saja,
mereka cenderung memulai bisnis tanpa rencana yang matang, tanpa tujuan
yang jelas selain menjaga stabilitas ekonomi.

Akhirnya, dengan pesangon yang ada, mereka bergegas menciptakan bisnis
dengan tujuan segera mendatangkan penghasilan. Yang penting cari untung
dulu, rencana dan pengelolaan bisnis bisa menyusul. Bisnis segera meluncur
bebas, karena biasanya modal tersedia dari pesangon. Dan setelah beberapa
saat, terlihatlah bahwa mereka cenderung gagal mengendalikan biaya
operasional. Mereka tak bahkan tahu pasti apakah uang yang mereka peroleh
adalah penghasilan yang sesungguhnya.

Seorang mantan karyawan, misalnya, memutuskan untuk mendirikan sebuah
warnet di teras rumahnya. Dia hanya berpikir singkat: segera menghasilkan
uang. Maka berdirilah warnet dengan desain menarik dan harga sewa bersaing.
Tanpa perlu menunggu lama, uang segera mengalir ke laci mejanya, sehingga dia
yakin bahwa bisnis ini bisa diandalkan. Padahal, tanpa sadar, tabungannya kian
tergerus oleh biaya listrik, gaji karyawan, dan tentu saja pengadaan perangkat
warnet yang tidak murah.Ketika kemudian tabungannya habis, dan penghasilan
warnetnya bahkan tak cukup untuk menutupi biaya operasional, semua sudah
terlambat.

Ada juga orang yang terlalu jatuh cinta dengan ide atau produk bisnisnya.
Mereka berasumsi bahwa datangnya uang itu adalah berkat hasrat berbisnis,
kerja keras, dan berpikir positif. Dia sangat yakin bahwa produknya begitu
istimewa, sehingga tak ada pesaing. Mereka juga yakin bahwa keuntungannya
akan terus meningkat, sementara pengeluaran akan tetap bahkan menurun.
Ketika dugaan mereka salah, uang yang tertanam di bisnis yang “istimewa” tadi
tak bisa dia tarik lagi. Belum lagi jika kita mau kembali membahas gaya hidup
orang-orang yang ingin terlihat sukses. Pengusaha yang mengalami bulan madu
dengan bisnis barunya ingin segera terbang. Terlalu jelas akibatnya: terlihat kaya
dan segera ambruk dalam hitungan waktu tak terduga.

Kini, tibalah kita pada pertanyaan pamungkas. Di level manakah Anda akan
bermain? Apakah Anda akan bermain di level para pengusaha dadakan yang
bermental miskin? Yang tak punya tujuan lain kecuali menghasilkan uang untuk
menyambung hidup? Atau, Anda memutuskan untuk bermain di level orang
kaya? Yang memiliki rencana jelas, tim yang solid, etos kerja yang baik, dan tata
nilai yang kuat? Apakah Anda cukup sabar untuk menahan diri dari keinginan
terlihat kaya dan terlihat sukses?

Bagaimana dengan riba? Jika uang riba disodorkan kepada Anda, di saat Anda
sangat membutuhkan dana untuk menyelamatkan bisnis, apakah Anda akan
menerimanya dengan sejuta dalih? Bisakah Anda memutuskan untuk tetap
bermental kaya, dan tetap bermain di level orang kaya, walau sesedikit apapun
uang di saku Anda?

Islam sangat peduli terhadap kemiskinan, dan menyeru ummatnya
agar melepaskan diri dari belenggu kemiskinan.

Semua pertanyaan itu menyodok eksistensi kita. Semua jawabannya
menunjukkan, di mana sebenarnya kita sedang berada. Di kelompok orang
miskin, atau orang kaya. Bagaimana akhir kehidupan seseorang ditentukan
oleh cara dia bermain hari ini. Jika hari ini dia bermain seperti orang miskin,
walaupun berlimpah materi, maka di akhir kehidupannya dia akan tetap miskin.
Sebaliknya, orang yang hari ini terlihat biasa-biasa saja, jika dia terus bermain
seperti orang kaya, dia akan berakhir menjadi orang kaya. It’s a matter of how
you play.

Besar kecilnya pendapatan seseorang di dalam hidup dan bisnisnya juga
ditentukan oleh bagaimana dia bermain. Coba Anda perhatikan karakter tiga
pengusaha yang saya sebutkan di atas bersikap. Mantan karyawan dengan
warnetnya, pengusaha yang begitu cinta dengan produknya, dan orang yang
gagal mengendalikan gaya hidupnya. Sikap ketiganya berasal dari mentalitas
orang miskin: takut kehilangan harta, terlalu yakin bahwa dia pasti berhasil,
dan ingin terlihat kaya. Karena itu, di akhir hidupnya pun, dia akan menjalani
kehidupan yang serba kekurangan.

Lantas, pernahkah Anda bertanya, mengapa manusia di muka bumi ini bisa
berbeda-beda kualitas hidupnya? Padahal, kita hidup di bumi yang sama,
menghirup udara yang sama. Apakah ada peran Tuhan di sana? Apakah Tuhan
hanya menciptakan orang-orang tertentu untuk menjadi kaya sedangkan orang
yang lain diciptakan untuk menjadi miskin?

Besar kecilnya pendapatan seseorang di dalam hidup dan bisnisnya juga
ditentukan oleh bagaimana dia bermain.

Ternyata, Tuhan memberikan rezeki kepada manusia sesuai tingkat bagaimana
mereka bermain. Ada, 4 tingkatan rezeki yang bisa diperoleh manusia. Setiap
level rezeki ini memiliki kualifikasi yang berbeda dari segi jumlah maupun siapa
saja yang berhak mendapatkannya. Coba kita lihat, rezeki level mana yang
menjadi hak kita.

• Level 1, rezeki makhluk. Ini adalah rezeki level terbawah. Rezeki ini dicurahkan
oleh Allah swt bagi semua mahkluknya. Orang yang lahir di Cianjur dijamin
rezekinya, orang yang lahir di Jakarta dijamin rezekinya, yang di tengah kota,
yang kampung, di tengah hutan semua dijamin rezekinya. Bahkan orang yang
tinggal di tempat yang sangat terpencil seperti di kutub utara pun tidak luput
dari jaminan Allah swt. Nah, rejeki pada tingkat ini tidak perlu dikhawatirkan,
karena Dia tidak memilih apakah seseorang itu rajin, atau malas. Semua
diberiNya rezeki. Orang yang sedang terbaring sakit dan tak bisa keluar dari
rumah pun memiliki rezeki di tingkat ini. Dan bukan hanya manusia yang
dijamin, tetapi semua makhluk, termasuk tumbuh-tumbuhan dan binatangbinatang.

Mari kita belajar bagaimana seekor cicak memperoleh rezeki. Cicak adalah
binatang yang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk merayap di
dinding. Dia hanya bisa merayap, tidak bisa melompat jauh apalagi terbang.
Padahal, makanan cicak adalah nyamuk yang terbang kesana kemari. Coba
pikirkan, betapa sulitnya kita menangkap satu ekor nyamuk. Tapi cicak selalu
bisa menyantap nyamuk, dan bisa bertahan hidup. Inilah pelajaran kepada
kita, bagaimana Allah swt menjamin rejeki bagi kita semua, yaitu rezeki yang
disediakan untuk semua makhluk yang diciptakanNya, tanpa kecuali.

• Level 2, rezeki orang yang berusaha. Orang yang berada di level ini akan
memperoleh rezeki sesuai dengan yang diusahakannya. Jika dia bekerja 8 jam
sehari, maka penghasilan yang diterimanya akan lebih besar daripada orang
yang bekerja 3 jam sehari. Seorang sarjana lazimnya punya rezeki lebih besar
daripada lulusan sekolah dasar. Orang yang giat akan memperoleh hasil yang
lebih banyak.

Indonesia mulai membangun negara dalam waktu yang bersamaan dengan
Jepang, yaitu mulai Agustus 1945. Bedanya, kita memulainya dengan sebuah
sejarah gemilang, karena berhasil keluar dari penjajahan yang beratus tahun
lamanya. Sedangkan Jepang harus memulainya dengan keadaan muram
karena terpuruk akibat bom atom yang dijatuhkan oleh sekutu di Nagasaki
dan Hiroshima. Namun apa yang kita lihat sekarang. Jepang yang saat itu
diperkirakan sudah berakhir sejarahnya, kini justru menguasai dunia dengan
cara yang lain. Produknya ada di seluruh dunia, dan Jepang telah tumbuh
menjadi salah satu negara dengan kekuatan ekonomi yang sangat besar.
Sedangkan Indonesia yang pada saat itu diperkirakan akan menjadi macan
asia, ternyata hari ini masih berkutat dengan berbagai masalah kemiskinan
di negeri sendiri. Pertanyaannya adalah, apakah Allah lebih memberkahi
Jepang daripada Indonesia? Inilah yang disebut dengan rezeki level 2. Jepang
meraih kehidupan ekonomi yang jauh lebih baik karena mereka bekerja
lebih keras daripada kita. Mereka membuat aneka kendaraan sedangkan kita
tidak, mereka memproduksi alat-alat elektronik sedangkan kita tidak, mereka
membangun infrastrukur sedangkan kita tidak. Intinya mereka bekerja lebih
keras daripada kita, maka pantaslah mereka memperoleh rezeki yang lebih banyak.

Kenyataannya, terlepas dari seberapa keras dan seberapa cerdas seseorang
dalam bekerja, ternyata 99% manusia berada pada level ini. Mereka
memperoleh rezeki melalui kerja keras. Semakin besar hasil yang mereka
peroleh, makin banyak waktu, tenaga, dan pikiran yang harus dia curahkan.
Orang di level ini mungkin memiliki penghasilan yang sangat tinggi, tapi
banyak di antara mereka yang hidupnya sangat sibuk dan melelahkan. Bahkan
bisa jadi, orang seperti ini tak memiliki kehidupan. Waktunya seolah terjerat
dengan apa yang harus diusahakannya. Orang yang hanya berhenti bermain
di level ini hidupnya sangat capek!

How you care to others will define your business’ success. Sukses bisnis
ditentukan oleh bagaimana kita menolong orang lain. Ucapan sahabat
saya Pengusaha di Amerika, Randall Book, selalu saya ingat. Dalam
kehidupan sosialnya, pengusaha tambang emas, pemilik Westin Hotel
Detroit , dan pemain property terkemuka di Detroit ini adalah Presiden
Yayasan Kanker Amerika yang telah menolong ratusan ribu penderita
kanker di Amerika. Ketika saya ajak ke Indonesia, dihadapan para
Pengusaha di bandung Randy -begitu dia akrab disapa- berbagi tentang
bagaimana dia mengelola dan menghargai uang. Sebuah koin 1 sen
baginya sangat berharga, dan dia tidak segan-segan memungut dan
menyimpannya. Big always start from small. The way you do
something is the way you do everything tegasnya.

• Level 3, rezeki orang yang bersyukur. Orang yang berada di level ini
memperoleh hasil jauh lebih tinggi dari apa yang dikerjakannya. Mereka
adalah orang-orang yang memahami bahwa di dalam harta yang mereka
miliki terdapat hak orang lain. Mereka adalah orang-orang yang hidup
hatinya, dan selalu membantu orang lain dalam keadaan lapang dan sempit.
Mereka berkeyakinan kuat bahwa jika saya hanya memikirkan diri sendiri,
maka persoalan yang saya hadapi tidak akan pernah selesai. Namun jika saya
mau memikirkan dan menolong orang lain, maka persoalan saya akan Allah selesaikan.

Jepang meraih kehidupan ekonomi yang jauh lebih baik karena
mereka bekerja lebih keras daripada kita.

Di New York, dulu ada orang yang bernama Rockefeller. Dia dijuluki The
Unexpected Hero, pahlawan yang tidak disangka-sangka kehadirannya.
Julukan itu dia peroleh karena pada saat krisis ekonomi melanda Amerika,
ketika terjadi kebangkrutan di mana-mana, PHK besar besaran, masyarakat
kesulitan membeli kebutuhan hingga makanan, Rockefeller justru melakukan
hal yang sebaliknya. Dia memberikan bantuan secara luas, memberikan
makanan kepada orang-orang yang membutuhkan. Pendek kata, apa yang
bisa dia lakukan dengan hartanya untuk menolong orang lain maka akan
dia lakukan pada saat itu. Apa sesungguhnya yang menggerakkan seorang
Rockefeller untuk melakukan semua itu?

Ketika di New York, saya dengan istri berkesempatan masuk ke perkantoran
milik keluarga Rockefeller. Di dalam gedung, di tingkat atas, saya membaca
sebuah tulisan yang saya ingat sampai hari ini. “Tuhan memberi banyak kepada
yang membutuhkan banyak!” Tulisan itu ditulis oleh mendiang Rockefeller.
Luar biasa sekali orang ini, pikir saya. Jika kita hanya peduli dengan diri sendiri,
artinya kita hanya membutuhkan sedikit. Namun jika kita mau mengurus
orang lain, maka yang kita butuhkan banyak. Memang banyak orang pelit
yang hartanya terlihat banyak. Namun, jika kita telisik lebih dalam, ternyata
harta yang banyak belum tentu mendatangkan kehidupan yang lapang. Ada
saja persoalan yang harus mereka hadapi. Karena kaya dan miskin bukanlah
sekedar harta banyak atau sedikit, tapi lebih berupa kehidupan yang lapang
atau sempit.

Lihatlah siapa 10 orang terkaya di dunia, mereka adalah orang-orang yang
sangat istimewa dalam bersedekah. Semua bangsa dan agama di dunia
percaya bahwa bersedekah tidak akan mengurangi harta. Sebaliknya, sedekah
akan membuat harta kian subur, makin berkah, dan bertambah banyak.
Sayangnya, hanya sedikit orang yang mau meyakini dan melakukannya.


“Tuhan memberi banyak kepada yang membutuhkan banyak!”

• Level 4, rezeki orang yang bertaqwa. Level rezeki ini diberikan kepada orangorang
yang dalam hidupnya tak pernah ada rasa rasa takut dan khawatir.
Kedekatannya dengan Allah swt membuat banyak masalah yang seharusnya
dia hadapi jadi diambil alih. Rezeki orang yang ada di level ini berasal dari
arah yang tidak disangka-sangka. Apakah mudah memperoleh rezeki ini?
Saya tak hendak menjawabnya. Hanya saja, orang di level ini memiliki hati,
pikiran, ucapan dan tindakan yang sangat terjaga. Kehidupannya sebagai
hamba dia dedikasikan untuk berjuang dengan harta dan jiwa. Rezekinya
sudah tak terukur, tak terbatas. Dia sangat paham dan pernah menjalani 3
level rezeki sebelumnya. Masalahnya, banyak orang merasa berada di level 4,
padahal sebenarnya dia adalah pemalas di level 1, yang hanya berdoa namun
meninggalkan ikhtiar, kemudian mengharapkan uluran tangan orang lain.
Selain itu, orang di level 4 juga bukan orang-orang yang kikir. Orang yang
masih kikir berada pada level 2, karena dia merasakan beratnya bekerja demi
memperoleh penghasilan. Akibatnya, dia merasa sayang jika harus membagi
hasil jerih payahnya itu dengan orang lain. Orang-orang yang memiliki rezeki
di level 4 ini adalah pekerja keras dan selalu mengukir prestasi.Beberapa
rekan yang datang kepada saya dalam keadaan terlilit utang bertahun-tahun.
Awalnya, mereka merasa sudah tidak ada jalan keluar. Faktanya, banyak di
antara mereka yang berhasil bangkit, kembali memiliki bisnis, dan meraih
kehidupan yang lebih baik. Apa yang mereka lakukan?

Mereka bermain di level empat. Dan salah satu disiplin yang harus mereka
genggam erat untuk memperoleh rezeki level ini adalah taat kepada ketentuan
agama. Tindakan yang paling nyata adalah meninggalkan semua bisnis dan
transaksi yang melibatkan uang riba. Mengapa? Karena kita tak akan pernah
kaya dengan riba. Bisnis yang mengandalkan riba hanya menghasilkan
keuntungan dan kesuksesan semu. Perjalanan hidup pelakunya—pemberi,
pengguna, dan perantaranya—akan berakhir dengan masalah besar.

Dalam sebuah wawancawa, seorang konglomerat di negeri ini ditanya
oleh wartawan, “Om, usia Om sudah sangat lanjut. Kok masih mau bekerja
mengurusi bisnis?” Konglomerat itu menjawab “Iya. Soalnya utang saya masih
banyak.”

Bisnis dengan menggunakan uang riba memang menggiurkan. Modal besar
bisa Anda peroleh dalam waktu singkat, dan persyaratan yang sangat ringan.
Ketika saya memutuskan untuk meninggalkan riba, seorang rekan bisnis
bertanya, “Mengapa meninggalkan riba? Apakah bisnis yang non riba itu
lebih besar peluang untungnya?” Teman saya itu salah duga. Saya memang
pebisnis, tapi saya tak melulu mengejar keuntungan. Saya memutuskan
untuk meninggalkan riba dan memilih bisnis yang sesuai dengan tuntunan
agama bukan demi uang yang lebih besar, melainkan sesuatu yang jauh lebih
berharga: saya ingin selamat!

Bisnis yang mengandalkan riba hanya menghasilkan keuntungan dan
kesuksesan semu. Perjalanan hidup pelakunya—pemberi, pengguna, dan
perantaranya—akan berakhir dengan masalah besar.

Riba dengan berbagai wajahnya—kartu kredit, bank abal-abal, kredit tanpa
agunan, hingga yang terang-terangan menyebut diri rentenir—memang
memikat banyak orang. Dalam kondisi terdesak, dengan mentalitas dan
karakter miskin yang melekat, maka sesuatu yang jelas-jelas dilarangpun akan
ditabrak. Selanjutnya, begitu menyentuh riba, maka yang tertanam dalam diri
adalah semangat bahwa saya harus kaya, saya harus untung, tak peduli jika
saya harus menindas orang lain. Tuntutan pengembalian dengan bunga yang
sangat tinggi membuat kita dipacu untuk menghasilkan angka yang jauh
lebih besar. Jadi, riba adalah sebuah manifestasi dari keserakahan. Riba alat
untuk menindas dan menjajah orang lain.

Lain halnya dengan bisnis yang dikelola berdasarkan nilai-nilai agama yang
mulia. Dengan berpegang teguh pada agama, maka bisnis saya membawa
semangat keadilan, kejujuran, keterbukaan, dan saling tolong menolong.
Melalui bisnis ini saya tak pernah merasa takut kekurangan, karena Allah
menjamin rezeki saya akan mengalir dari arah yang tidak saya sangka-sangka.

Jadi, di level berapa anda bermain?

Baca Juga :
Strategi Membangun Kekakayan Tanpa Riba part7