Tuesday, June 20, 2017

Strategi Membangun Kekayaan Tanpa Riba part3

PERTANYAAN 3
KEPADA SIAPA ANDA BERKOMITMEN?

Salah satu kenalan saya, sebut saja namanya Pak Hendro, datang menemui
saya. Awalnya, pengusaha gagah ini bermaksud mengajak saya untuk bisnis
saham. Saya tak pernah bermain saham, saya juga tidak menyukai bisnis saham.
Menurut saya, bisnis ini tidak bermanfaat bagi masyarakat; dan pendapat saya
itu langsung saya sampaikan kepadanya. Akhirnya, setelah basa-basi tentang
saham itu, Pak Hendro mengaku sedang terbelit masalah utang dengan rentenir.
Hati saya berdesir. Sulit untuk tidak iba kepada korban monster riba seperti ini,
karena saya sendiri pernah mengalaminya. Sulit sekali lepas dari jerat rentenir—
apapun itu namanya: bank abal-abal, berkedok koperasi, arisan, sampai yang
mengaku investor.

Kisah Pak Hendro lebih pahit karena anaknya baru saja meninggal. Uang rentenir
yang terpaksa dia pinjam namun gagal menyelamatkan nyawa anaknya pun tak
bisa dia kembalikan. Hanya beberapa hari setelah acara pemakaman, dia mulai
didatangi rentenir. Saya tak perlu bercerita, bagaimana cara mereka menagih.
Yang jelas, kini Pak Hendro nyaris kehilangan rumah, dan semua hartanya sudah
dijual untuk menutupi utang-utangnya.

Jeratan riba itu seperti belitan gurita. Makhluk ini punya delapan “tangan,”
dan di ujung masing-masing tangannya tumbuh kepala. Kepala itu tentu
punya delapan tangan, yang di ujungnya tumbuh kepala lagi... Jika salah satu
tangannya ditebas, maka kepala baru akan segera tumbuh menjulur, siap
membelit korbannya. Begitulah berlaku dari zaman purba hingga kini. Riba
adalah perbudakan yang belum berhasil dihapuskan dari muka bumi.

Monster ini cenderung melakukan apapun agar keinginannya terpenuhi, tanpa
belas kasih, tanpa tenggang rasa. Rasulullah saw dengan tegas bersabda bahwa
riba akan menyeret seseorang untuk melakukan 73 jenis kejahatan lainnya. Allah
berfirman bahwa Dia dan Rasul-Nya akan memerangi manusia yang berurusan
dengan riba—pelaku dan korbannya.

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisasisa
(dari berbagai jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu
tidak melakukannya (meninggalkan riba) maka ketahuilah, Allah dan rasul-Nya
akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat dari pengambilan riba, maka
bagimu hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (Q.S. Al
Baqarah: 278-279)

Apakah makna ayat di atas perlu ditafsirkan lagi agar bisa dipahami? Saya rasa
tidak. Ketetapan Allah tentang riba terlalu kasat mata untuk dipertanyakan.
Berurusan dengan riba berarti menempatkan diri sebagai musuh Allah swt dan
Rasulullah saw. Terlalu mengerikan.

Dan, bukan hanya Islam yang mengharamkan riba. Anda boleh periksa literatur
agama samawi yang lain seperti Kristen dan Yahudi, haramnya riba juga jelas
termaktub dalam Injil dan Talmud.

Sudah banyak orang yang jatuh miskin atau melakukan kejahatan karena terjerat
riba atau rentenir. Namun kenyataannya, dari hari ke hari riba selalu ada. Korban
berjatuhan, bahkan kehilangan kehormatan. Pasalnya, uang riba cenderung
mudah diperoleh, baik dari perseroangan maupun dari institusi. Tawaran riba
biasanya disertai dengan iming-iming segala kemudahan. Pinjaman tanpa
jaminan, bonus ini dan itu, hingga bebas menentukan besaran cicilan. Tapi ada
yang tersamarkan, yaitu bunga berbunga yang terus memperbudak korbannya.

Meski Allah secara tegas telah melarangnya, tetap banyak alasan untuk
membenarkan bahwa bunga atau riba adalah sah dan wajar. Padahal, jika
keyakinan kita pada hukum Allah selalu kokoh, kita tak perlu penjelasan apapun.
Itulah yang kita sebut dengan komitmen.

Banyak orang berpendapat bahwa komitmen yang terpenting adalah komitmen
kita kepada orang lain. Kita bisa dengan enteng meninggalkan pentas anakanak
di sekolah demi memenuhi undangan dadakan seorang klien. Kalau mau
profesional, komitmen kepada klien harus diutamakan, begitu dalih kita. Anak
kan tinggal dirayu dengan hadiah. Klien kita lebih penting. Benarkah?

Faktanya, seseorang tidak bisa memenuhi komitmen kepada orang lain sebelum
dia memiliki komitmen kepada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin kita bisa
bertanggung jawab kepada orang lain jika kemampuan mengurus diri sendiri
saja masih dipertanyakan? Mengelola diri adalah kemestian sebelum kita
beranjak mengelola orang lain. Dan komitmen pada diri sendiri merupakan
prasyarat untuk bisa komitmen kepada orang lain. Komitmen pada diri sendiri
berarti sesuatu yang mutlak tak bisa ditawar, dengan dalih apapun. Unegotiable,
titik.

Komitmen adalah janji kita kepada diri sendiri, dan melanggarnya berarti
merenggut kehormatan diri kita sendiri. Apakah kita masih bisa hidup tenang,
jika kehormatan diri saja kita injak-injak sendiri? Itulah mengapa, kualitas
seseorang ditentukan oleh seberapa banyak hal yang unnegotiable dalam
dirinya. Komitmen kita yang tertinggi adalah kepada diri sendiri, yang timbul
karena kesadaran kita terhadap nilai-nilai yang sangat penting bagi diri kita.
Komitmen ini lahir karena pengenalan diri kita terhadap Allah swt.

Tentang kasus yang membelit Pak Hendro, yang juga pernah membelit saya,
sebuah kesadaran diri mendobrak keraguan saya tentang riba. Sebelumnya,
saya paling pintar cari dalih untuk membenarkan riba. Ah, kan pemerintah juga
membolehkan. Klien penting saya sudah menanti kiriman barang, nih. Lagipula,
saya kan sedang kepepet. Bisnis harus jalan, kasihan kan karyawan saya. Nanti
kalau sudah kaya, saya pasti sedekah untuk membersihkan harta dari riba. Saya
pisah deh, harta yang ada riba-nya dan yang nggak. Saya nggak akan kasih
makan anak saya uang riba kok ...

Riba mencegah kebaikan dan meniadakan harapan. Riba pada kenyataannya
adalah pencurian.~ Murtadha Muthahari ~

Alasan demi alasan selalu saja ada. Kebodohan itu terjadi karena saya
mengutamakan komitmen terhadap orang lain. Dan hasilnya, saya bangkrut
dengan utang menggunung. Semua dalih yang saya pakai tak ada yang benar.
Klien saya tetap kabur, banyak karyawan harus saya PHK, saya tetap tak bisa
sedekah, keluarga saya terabaikan, dan yang jelas...hidup saya tidak tenang.
Saya ngeri menghadapi hari esok.

Apa yang mesti saya lakukan?
Revolusi! Saya harus menegakkan komitmen saya kepada diri sendiri. Karena
dari sana, saya baru bisa berkomitmen kepada orang lain. Saya mengaku
Muslim, dan saya patuh kepada ketentuan Allah swt. Itu komitmen saya.
Kemudian, meluncurlah tekad yang hanya bisa saya wujudkan jika saya benarbenar
commited:
• Dalam berbisnis, saya tidak akan pernah menggunakan uang riba. Saya
tidak ingin bisnis saya hancur, kehidupan saya hancur, sementara Allah akan
murka kepada saya. Jika harus menggunakan uang riba, lebih baik saya tidak
berbisnis.
• Saya harus membangun diri sebagai the True Leader, yang dicintai dan
diteladani oleh anak-anak, keluarga, umat, dan bangsa Indonesia.
• Saya harus membangun kehidupan yang kaya raya dan penuh manfaat,
menafkahkan harta dan jiwa saya di jalan Allah swt.
• Hidup dan mati saya untuk Allah swt.

Itulah komitmen pada diri sendiri. Kita harus menjaga kehormatan diri dengan
berkomitmen. Karenanya, apapun yang terjadi, janji itu harus harus kita penuhi.
Saya sudah pernah roboh karena tidak punya komitmen yang jelas. Itu tak akan
terulang. Kita harus memahami bahwa bahwa mentalitas orang kaya adalah
punya komitmen terhadap diri sendiri. Mereka tak peduli meski dianggap aneh
atau tidak normal oleh orang lain.

Saya pernah bekerja di sebuah perusahaan alat berat di Indonesia. Suatu
saat, kami ingin membuat komponen lokal sederhana berupa filter. Setelah
melalui riset dan uji coba, akhirnya filter dengan kualitas bagus berhasil dibuat.
Suku cadang itu lantas kami bawa ke principal di Jepang untuk mendapatkan
persetujuan. Beberapa hari kemudian, keluarlah keputusan dari principal yang
menyatakan bahwa filter buatan kami tidak layak. Tidak memenuhi standar
kualitas mereka.

Beberapa bulan kemudian kami datang lagi ke Jepang, dan lagi-lagi filter itu
ditolak. Masih tidak layak, katanya. Akhirnya kami mengambil filter buatan
mereka sendiri dan menghapus merknya. Setelah dikirim kembali ke Jepang,
jawaban yang kami terima sama: tidak layak. Padahal Anda tahu, filter yang
dikirim tadi adalah produksi mereka sendiri.

Hal konyol itu membuat saya belajar, betapa komitmen pada diri sendiri itu
sangat penting.

Coba kita lihat perilaku masyarakat China. Industri otomotif dan teknologi
lain tumbuh pesat di sana. Coba perhatikan sepeda motor China. Bentuk dan
teknologinya mirip dengan motor buatan Jepang. handphone buatan China juga
begitu. Teknologi dan fitur-fiturnya mirip handphone buatan Eropa. Kelebihan
produk-produk China adalah harganya yang jauh lebih murah.

Bagaimana orang China bisa memproduksi mobil, motor, handphone, dan aneka
peralatan lain dengan harga yang lebih murah? Awalnya, mereka memang
meniru produk-produk yang sudah ada, kemudian membuatnya sendiri dengan
merk berbeda. Bukan hanya kalangan industri Jepang dan Eropa yang marah,
tapi juga organisasi perdagangan dunia atau WTO. Faktanya, sampai saat ini
produk-produk China terus membanjiri, bukan saja Indonesia, tetapi juga
negara-negara lain. Sampai kini, toh WTO dan dunia internasional tidak juga
memberikan sanksi embargo kepada China.

Orang miskin punya keinginan untuk menjadi kaya. Orang kaya punya
komitmen untuk menjadi kaya. Tahukah Anda bedanya?

Kasus filter alat berat dan motor China menunjukkan perbedaan yang jelas. Filter
yang tak layak itu menunjukkan bagaimana Indonesia terikat komitmen dengan
Jepang. Kita harus memohon agar dinilai layak, dan pada akhirnya tak pernah
berhasil. Kasus motor dan handphone China adalah bentuk komitmen pada
diri sendiri. Pada saat tertentu, bangsa China mengabaikan hiruk pikuk protes
dan cercaan dari bangsa lain, karena mereka menyadari betapa pentingnya
membela komitmen kepada bangsa sendiri. Hari ini tak ada lagi protes terdengar,
karena China telah mampu menciptakan produk-produk berdaya saing tinggi
dan murah. Sementara itu, bangsa-bangsa lain sibuk membenahi diri untuk
menghadapi pesaing baru yang hebat: China!

Itulah dahsyatnya komitmen pada diri sendiri. Orang tidak akan pernah
menggapai keberhasikan dan menjadi kaya tanpa memiliki komitmen. Komitmen
selalu beriringan dengan disiplin diri dan ketakwaan. Komitmen berkaitan erat
dengan iman. Iman terhadap apa yang dijanjikan oleh Allah swt.

Komitmen itu datang dari kesadaran yang timbul karena kita belajar sesuatu, atau
mengalami sesuatu. Jika ditanya apakah Anda ingin menjadi kaya? Jawabannya
pasti iya. Tetapi, jika pertanyaannya adalah apakah Anda berkomitmen untuk
kaya? Maka hanya segelintir orang yang yakin bisa menjawabnya. Karena itulah,
orang kaya di dunia ini tidak lebih dari 3%.

Semua orang ingin kaya, tetapi hanya sedikit orang yang memiliki komitmen
untuk menjadi kaya. Untuk memunculkan komitmen yang kuat pada diri sendiri,
kita bisa mencontoh perilaku dan perjalanan orang-orang kaya. Dari kisahkisah
hidup orang-orang terkaya di dunia, kita bisa tahu bahwa mereka tidak
kaya secara tiba-tiba. Mereka menjalani proses yang terus berlangsung selama
nyawa masih di badan.

Orang yang memiliki komitmen akan memutuskan segala sesuatu dengan
mudah. Komitmen adalah clarity, kejelasan tentang segala sesuatu. Tanpa
clarity, manusia tak yakin dalam berbuat. Tanpa komitmen kepada dirinya
sendiri, seseorang cenderung sulit memutuskan segala sesuatu. Selalu ada
kebingungan dan dilema, keraguan, dan banyak berakhir dengan penyesalan.
Temukan, dan jangan kehilangan clarity walau sedetikpun. Saya menyarankan
sebuah cara untuk menjaga komitmen itu dengan menuliskan tiga hal setiap
pagi-pagi sekali. Tulis dan baca setiap hari :

Promises, janji Anda kepada diri Anda sendiri
Anda ingin jadi orang seperti apa, ingin dinilai Tuhan sebagai hamba yang
bagaimana, ingin dikenang oleh keluarga sebagai apa.
Goals, sesuatu yang ingin Anda capai
Apa yang ingin Anda capai dalam kehidupan, dalam membangun bisnis,
kepemimpinan diri, dalam membangun keluarga
Things to get done today, sesuatu yang bisa saya selesaikan hari ini
Komitmen Anda tentang sesuatu yang akan diselesaikan hari ini, berkaitan
dengan semua tujuan yang Anda miliki. Yang saya maksud di sini bukan
sekedar check list, tetapi komitmen menyelesaikan sesuatu. Saya bisa saja
menulis surat, memutuskan sesuatu, menyampaikan sesuatu kepada orang
tertentu, menyetujui anggaran, meminta maaf kepada seseorang, atau yang
lain. Apapun yang bisa kita selesaikan hari ini.

Dengan menuliskan komitmen setiap pagi sebelum melakukan aktifitas, kita
memiliki kehidupan yang jauh lebih mudah. Menjadi mudah memutuskan
sesuatu, jauh lebih bahagia, merasa lengkap, dan tidak cenderung menunda
pekerjaan. Dengan meneguhkan komitmen dari hari ke hari, kita tidak akan
tergoda untuk mencurangi diri sendiri.

Bersedekah minimal 10% dari penghasian dan meninggalkan riba hanya akan
terjadi pada orang yang memiliki komitmen terhadap dirinya. Komitmen
ini mencerminkan keyakinannya hanya kepada Allah swt. Tanpa komitmen,
orang yang berhadapan dengan riba cenderung meninggalkan iman dan
menganggap dirinya dalam keadaan darurat. Sekali iman dilepaskan, orang
akan selalu merasa keadaan darurat ketika berhadapan dengan riba. Dia tak
akan pernah menemukan keadaan normal. Tanpa komitmen, orang akan
mencari pembenaran tentang model bisnis yang mengandung unsur riba. Tak
mungkinlah lepas dari riba, karena riba sudah masuk ke seluruh lini kehidupan,
begitu dalihnya. Namanya juga dalih; selalu dicari-cari.
Sebaliknya, orang yang berkomitmen meninggalkan riba selalu kembali kepada
imannya. Saat dia berhadapan dengan riba, tak pernah ada kata darurat. Mereka
sangat percaya bahwa pasti ada jalan bisnis yang jauh lebih baik dan jauh lebih
mulia daripada berbinis yang terkait unsur riba.

Sahabat saya, pemilik jaringan rumah makan yang sangat maju. Saat ini, dia
memiliki lebih dari 50 gerai di berbagai lokadi strategis. Saat kami berbincang,
dia mengaku perlu modal untuk mengembangkan jaringan rumah makan
miliknya. Selama ini ada dua buah bank yang bisa menjadi jalan keluar mengatasi
persoalannya. Pertama bank konvesional, dengan proses yang lebih mudah, dan
yang kedua adalah bank syariah, namun prosesnya lebih panjang.

Dia berkata ingin lepas dari riba, namun sedang sangat perlu uang dari bank
tersebut untuk mengembangkan usaha. Saya ingatkan kepadanya, apa yang
dikatakan oleh Allah swt tentang riba. Allah swt akan memerangi mereka yang
masih menggunakan riba. Setelah beberapa saat, sahabat saya itu yakin bahwa
meninggalkan riba tak berkaitan dengan berapa besar kredit yang akan cair,
besar bagi hasil atau bunga dan biaya yang harus dibayar, dan berapa lama
prosesnya disetujui bank. Keyakinannya meninggalkan riba adalah komitmen
kepada diri sendiri, karena bersumber pada keyakinan yang sungguh-sungguh
kepada Allah swt. Dengan komitmen itu, sahabat saya jadi sangat mudah
mengambil keputusan. Tinggalkan riba. Nyatanya, saat ini alhamdulillah
usahanya terus berkembang.

Ketika harus bangkit dari jeratan utang sebesar Rp 62 miliar. Hal yang paling
berat bagi saya adalah perjuangan melawan riba. Ketika saya betul-betul ingin
membebaskan diri, ternyata tidak semua orang bisa menerimanya. Apalagi
rentenir. Jika Anda pernah berutang ke rentenir, saya yakin Anda merasakannya.
Mereka masih ingin menyedot kita habis-habisan. Kita adalah sapi perahan,
yang tak mungkin mereka lepaskan begitu saja.

Walau utang pokok sudah dibayar, bagi kaum rentenir, utang kita tak pernah
lunas. Mereka tidak pernah peduli dengan nasib kita, bahkan semakin senang
ketika “nasabah”nya dalam keadaan sulit. Dalam kondisi terjepit, nasabah akan
semakin tergantung pada utang. Dan itulah saat kemenangan bagi rentenir,
karena seorang budak telah dikuasai. Kita bisa dengan mudah menemukan
kasus mengerikan gara-gara riba. Pencurian, penipuan, bunuh diri, penculikan,
bahkan pembunuhan banyak terjadi karena riba. Selain menciptakan budak,
riba juga menciptakan penjahat.

Banyak Pedagang Terjerat Utang pada Rentenir
PURWOKERTO (Suara Merdeka.com) - Selama ini, banyak pedagang pasar
tradisional seperti di Pasar Wage dan Pasar Karanglewas yang terjerat
utang pada rentenir. Mereka juga terlibat utang dengan pihak perbankan
swasta maupun pemerintah. Jika meminjam ke bank ucek-ucek (istilah
rentenir) rata-rata bunga per bulan yang dikenakan mencapai 20 persen,
sedangkan bank swasta dan pemerintah rata-rata sebesar 1,1 persen.

Para pedagang mengungkapkan, mereka paling sering meminjam ke bank
ucek-ucek karena pinjaman bisa diberikan tanpa syarat njlimet seperti bank
formal. Kondisi itu juga diakui Kepala Pasar Karanglewas, Supardi. Di pasar
tersebut, pihaknya tidak bisa mengendalikan kalangan rentenir, karena
langsung berhubungan dengan pedagang. ‘’Biasanya risiko ditanggung
mereka sendiri (pedagang),’’ keluhnya.

Suatu ketika, musisi Harry Moekti mengenalkan saya dengan seorang pengusaha
beras. Usahanya cukup maju. Untuk lebih mengembangkan usahanya, si
pedagang menggalang dana dari tetangga-tetangganya. Dia berjanji bakal
memberikan keuntungan 5% dari uang yang disetor setiap bulannya. Tawarannya
itu menggiring banyak sekali orang yang bersedia menitipkan uang, termasuk
masyarakat yang tinggal jauh dari rumahnya.

Dalam waktu singkat, usahanya terlihat berkembang. Dia bukan hanya berjualan
beras, tetapi juga sembako lainnya. Kesuksesannya dikagumi oleh tetangga, dan
dia segera dikenal sebagai orang kaya. Di balik kekaguman orang, pedagang
ini mulai kebingungan. Dia harus membagi perhatian antara memikirkan
usahanya, dan memikirkan perhitungan keuntungan untuk orang-orang yang
menanamkan uangnya. Meski usahanya tampak membesar, ternyata dia
mulai kesulitan memenuhi janjinya memberikan keuntungan 5% tadi. Banyak
perhitungannya yang meleset. Sementara itu, para tetangganya tetap menuntut
uang mereka. Atas nama komitmennya kepada pemodal, dia membayar mereka
dengan uang pinjaman baru. Sudah tentu dengan bunga baru.

Akhir ceritanya mudah ditebak. Dia berhenti total jadi pedagang lantaran
utang menumpuk, dan dia tak tahu lagi harus bagaimana. Ketika pengusaha itu
beberapa kali menemui saya dan mengajukan pinjaman uang, saya memberinya
bantuan. Bukan utang. Saya pernah memberinya Rp 10 juta rupiah, Rp. 5 juta,
dan jumlah lain—saya tidak ingat berapa totalnya. Terakhir kali, dia datang dan
menyatakan dirinya akan dijebloskan ke penjara oleh teman SMA-nya sendiri,
juga karena utang yang pada saat itu disampaikan besarnya Rp. 150 juta. Karena
masalah tak kunjung rampung, saya putuskan untuk menyerahkan cincin black
diamond saya untuk menyelesaikan utang-utangnya. Berhasil? Ternyata tidak.
Sampai sekarang, kasusnya masih ruwet.

Utang (buruk) biasanya berkelindan dengan kebohongan ~ Francois Rabelais ~

Kondisi itu mungkin belum seberapa. Di media massa sering diberitakan orang
nekat bunuh diri gara-gara tidak bisa bayar utang. Ada orang tua yang menjual
anak untuk melunasi utang. Atau, sekali-kali kelilinglah ke kawasan kampung
nelayan. Hampir semua nelayan terjebak utang, dengan bunga mencekik, yang
tak pernah lunas walau mereka melaut setiap hari, saat air pasang maupun surut.
Di beberapa perkampungan nelayan Cirebon, cengkeraman rentenir bahkan tak
bisa dipatahkan oleh pemerintah setempat. Sudah tradisi yang berlangsung
berpuluh-puluh tahun.

Tradisi? Tradisi macam apa ini? Banyak nelayan yang harus mewarisi utang
kakeknya, dan tak akan pernah bisa melunasinya, karena jumlahnya sudah tidak
tidak masuk akal. Utang itu pula yang mereka wariskan ke anak-cucu nanti.
Seumur hidup, mereka harus menyerahkan hasil tangkapan kepada rentenir
yang biasanya merangkap sebagai tengkulak, dengan harga yang sangat rendah.
Semua demi utang yang tak mereka ketahui perhitungannya. Yang mereka tahu
hanya angka fantastis, lengkap dengan bunga yang akan cepat berbunga juga.
Gurita yang mengerikan.
Tinggal cerita, cincin “Black Diamond” tak cukup menebus utang rentenir
Para rentenir ini, yang berupa institusi ataupun personal, punya ciri serupa.
Ketika menawarkan pinjaman, mereka berlaku sangat ramah, bahkan mengobral
janji yang muluk-muluk. Tapi saat menagih, wajah mereka berubah jadi bengis.
Berbagai cara akan mereka lakukan guna menagih uang dan bunganya. Tak
mustahil acara menagih utang berujung kematian.

Anda tentu tahu kasus debt collector yang sempat panas di negeri kita.
Seorang nasabah memiliki utang kartu kredit sebesar Rp 48 juta. Dia kaget
karena tiba-tiba hutangnya membengkak jadi Rp 100 juta. Ketika dia berusaha
mengklarifikasi ke kantor bank yang bersangkutan—bukan bank abal-abal,
tapi bank dengan reputasi dunia—sang nasabah harus tewas mengenaskan.
Diduga, dia dianiaya oleh debt collector yang ditugasi oleh bank tersebut. Kisah
tragis ini mengundang reaksi keras dari masyarakat. Para pakar dan pengamat
ekonomi membuat analisa, para alim ulama urun rembug, asosiasi debt collector
melakukan klarifikasi, dan tentu saja polisi bergerak. Tapi, kurang dari beberapa
bulan kemudian, kasus yang membuat geger itu tak lagi terdengar walau
sekedar sayup-sayup.

Begitulah riba. Keberadaannya sering dicibir, tapi hingga kini masih saja hidup di
setiap lapisan masyarakat. Riba bergerak seperti perampokan di siang bolong, di
hadapan banyak mata. Tahukah Anda? Perampokan terbesar di dunia ini bukan
yang dilakukan oleh orang yang mengambil harta orang lain dengan sembunyisembunyi.
Perampokan terbesar yang sering kita abaikan adalah perampokan
yang dilakukan secara terang-terangan oleh pemberi utang melalui riba.

Hijrahlah!
Riba tidak akan pernah bisa mengantarkan kita kepada keberkahan, apalagi
kaya. Jangan lihat seberapa banyak harta yang dimiliki oleh seseorang;
lihatlah bagaimana kehidupannya, sempit atau lapang. Banyak orang yang
mengumpulkan harta dengan cara apapun, tetapi kehidupannya sangat sempit.
Masalah demi masalah seolah tak terpecahkan, sehingga dia dipaksa berlari dari
satu keburukan ke keburukan yang lain.

Buatlah komitmen untuk berhijrah! Komitmen untuk meninggalkan riba dan
hanya menggunakan modal yang halal, berusaha dengan cara yang halal. Yakini
bahwa ketika Allah melarang dan melaknat perbuatan riba, pasti Allah telah
menyiapkan jalan berusaha yang jauh lebih baik dan jauh lebih mulia. Ingatlah,
perjanjian Anda dengan orang lain terkait riba adalah perjanjian yang bathil di
mata Allah.

Mulai sekarang, segera selesaikan masalah Anda dengan rentenir. Katakan “stop”
untuk riba. Sementara, pindahkan utang-utang riba Anda melalui bank syariah.
Belajarlah berhijrah dan menyelesaikan utang riba. Bagi yang terlanjur bangkrut,
pelajari bagaimana caranya bangkit. Mari kita berbagi kisah. Saya telah menulis
buku berisi pengalaman bagaimana saya bangkit dari utang riba sebesar Rp 62
milyar dan membangun kehidupan yang baru dengan bisnis tanpa riba.

Ubahlah pola pikir Anda!

Pola Pikir Lama:Saya tak mungkin bisa berbisnis atau membangun usaha tanpa
berutang ke lembaga riba
Pola Pikir Baru: Allah melarang riba. Allah pasti menyiapkan jalan berbisnis yang
lebih baik dan lebih mulia

Pola Pikir Lama:Dalam keadaan mendesak,bridging dengan bunga tertentu
adalah solusi dalam mengatasi cash flow
Pola Pikir Baru:Riba bukan solusi tapi sumbermasalah yang sesungguhnya

Pola Pikir Lama:Saya tak bisa hidup tanpa kartu kredit
Pola Pikir Baru:Kartu kredit baru merebak tahun 1950-an. Banyak pengusaha
yang hidup sebelum tahun itu tetap sukses tanpa kartu kredit

Pola Pikir Lama:Saya tidak perlu melihat pengeluaran-pengeluaran saya, apalagi
yang kecil-kecil seperti tagihan kartu kredit, rekening koran, pajak listrik dan sebagainya
Pola Pikir Baru:Angka demi angka harus dilihat untuk mengetahui adanya
kebocoran dalam pengeluaran

Pola Pikir Lama:Saya sering malas dan takut melihat laporan keuangan, karena
kemungkinan besar angkanya adalah merah
Pola Pikir Baru:Saya harus selalu melihat laporan keuangan, meski angkanya merah.
Angka merah harus saya hadapi dan saya selesaikan.

Pola Pikir Lama:Setahu saya, orang kaya adalah mereka yang naik mobil mewah,
punya rumah mewah dan bergaya hidup mewah.
Pola Pikir Baru:Orang kaya adalah orang yang fokus untuk membangun
kekayaan, bukan fokus untuk kelihatan kaya

Untuk mengetahui apakah Anda sudah mengubah pola pikir tersebut, berikut
daftar pertanyaan yang perlu Anda perhatikan. Jawablah sendiri sejujur-jujurnya
dengan memberikan score antara 1 sampai dengan 5.

Jika ingin kaya, kuasailah ilmu tentang bisnis; jika tak ingin miskin, kuasailah
ilmu tentang utang.

Score 1 menggambarkan “Tidak. Ini jelas bukan saya”
Score 5 menggambarkan “Ya. Inilah saya”

1. Apakah kartu kredit Anda bertambah, baik jumlah kartunya maupun
plafonnya, sementara income Anda relatif tetap?
2. Apakah Anda pernah membeli sesuatu yang tujuannya untuk mendapat
perhatian dan pujian orang lain; atau Anda membeli sesuatu karena teman
Anda membelinya, dan Anda ingin dianggap seperti mereka?
3. Apakah Anda terbiasa menggunakan menerima “investasi” dari “investor”,
dan membayar bunganya setiap bulan tanpa perduli apakah Anda untung
ataupun rugi?
4. Apakah Anda menjalankan bisnis karena berpikir bahwa bisnis harus tetap
jalan, sementara uang Anda terus tergerus; dan sejujurnya Anda tidak tahu
apa yang harus dilakukan, dan hanya melakukan hal yang sama dari waktu
ke waktu tanpa ada perubahan yang nyata?
5. Apakah penjualan Anda terus meningkat, profit juga terus meningkat, tetapi
uang tunai justru terasa semakin sulit?
6. Apakah Anda terbiasa meminjam uang jangka pendek dengan bunga tinggi
(bridging loan) baik dari institusi maupun perseorangan?
7. Apakah Anda membayar tagihan kartu kredit dengan minimum payment;
apakah limit kartu kredit telah menjadi target pengeluaran, dan Anda selalu
mendapat ide untuk mencapai target tersebut?
8. Ketika berbicara tentang hobi dan barang-barang koleksi Anda. Apakah
sejujurnya Anda merasa tidak sepenuhnya mampu membayar atau
membiayai gaya hidup Anda sekarang?
9. Apakah Anda tidak pernah mencadangkan dana untuk keperluan tak
terduga seperti atap rumah bocor, kendaraan rusak, atau dana cadangan
jika anak sakit?
10. Apakah Anda menyembunyikan keadaan keuangan yang sesungguhnya
dari keluarga atau teman-teman dekat Anda?
11. Apakah Anda merasa tidak bisa mendiskusikan keuangan Anda dengan istri
atau teman dekat Anda?
12. Apakah Anda punya utang yang tidak diketahui oleh istri Anda, atau istri
Anda punya utang tapi Anda tidak mengetahuinya?
13. Apakah Anda punya utang yang tidak tercatat?
14. Apakah Anda berpikir akan berhijrah dan meninggalkan riba, tetapi
menunggu setelah keadaan keuangan Anda sehat dan memungkinkan?
15. Apakah Anda tidak melakukan budgeting dan relatif tidak tahu kemana
uang Anda pergi?
16. Apakah dalam menjalankan bisnis, Anda tidak cukup memberikan perhatian
terhadap angka-angka, malas melihat laporan keuangan, dan malas
membicarakan tagihan dari supplier yang belum terbayar?
17. Apakah setiap akhir bulan Anda seringkali panik karena lagi-lagi harus
menomboki bisnis dengan uang pribadi?

Setiap jawaban dengan skor cenderung mendekati angka 5 (lima) menuntut
komitmen perubahan dalam diri Anda. Buatlah komitmen dan rencana tindakan,
sehingga jawaban atas setiap pertanyaan di atas memberikan skor cenderung
mendekati angka 1 (satu). Jawaban dengan skor 1 adalah perilaku yang harus
dimiliki oleh seseorang yang ingn membangun kekayaan dalam hidupnya.

Tanpa komitmen, kita tak akan pernah menjadi siapapun. Tanpa komitmen kita
tak akan pernah melakukan apapun dan tidak akan pernah memiliki apapun.
Tentu ada pilihan yang jauh lebih baik daripada itu. Bagaimana komitmen Anda?
Kepada siapa Anda berkomitmen?

Baca Juga :