Wednesday, June 21, 2017

Strategi Membangun Kekayaan Tanpa Riba part4

PERTANYAAN 4
KEMANAKAH FOKUS ANDA ARAHKAN?

Seorang teman, sebut saja Mas Fahri. dalam keadaan gamang. Beberapa
bulan setelah PHK massal karena perusahaan tempat dia bekerja bangkrut.
seorang sahabatnya menawarkan sebuah ruko di Pasar Induk, lengkap dengan
perlengkapan jual beras dan modalnya. Tak perlu sewa dulu, yang penting jalan.
Urusan hitung-hitungan belakangan. Hmm... peluang yang sangat bagus.
Tahukah Anda, apa jawaban Mas Fahri?
“Wah, kalau di situ kayaknya nggak deh. Sudah berapa banyak orang jual beras
di Pasar Induk? Aku nggak akan bisa bersaing dengan pedagang yang lebih dulu
mapan! Lagipula, berapa sih untungnya jualan beras?”

Kejadian itu sudah lama berselang, dan ternyata pekerjaan baru tak kunjung
didapatnya. Mas Fahri kini hidup dalam keadaan sulit, dan tak pernah memiliki
kios beras. Hidupnya berlangsung dari utang ke utang, dari kartu kredit yang
sekarang sudah tidak bisa dia bayar lagi. Usianya kian beranjak, tapi masalahnya
tak kunjung tuntas. Menjadi tua adalah pasti, tak ada yang bisa menghalangi.
Tapi sukses atau gagal itu adalah pilihan. Kita semua sadar dan paham bahwa
manusia pasti menua. Sayangnya, tidak semua manusia bisa menjalani kehidupan
yang kaya dan penuh manfaat. Hanya orang-orang yang berani memilih
untuk kaya-lah yang memang akan sukses. Mereka bersedia membangun
kekayaannya selama bertahun-tahun. Demikian pula sebaliknya. Orang yang
terperosok dalam kemiskinan, sebenarnya telah menggali lubangnya bertahun tahun
sebelumnya.

Sama halnya, orang yang menawarkan langkah membangun kekayaan secara
cepat adalah orang tidak tahu apa yang sedang dibicarakannya. Faktanya,
membangun kekayaan adalah sebuah proses, dibuktikan melalui perilaku dan
mentalitas. Orang yang bisa memperoleh kekayaan dalam sehari, kemungkinan
besarnya akan sengsara bertahun-tahun. Seorang koruptor, misalnya, berfikir
bisa kaya mendadak dengan cara yang sangat mudah. Kenyataannya dia
akan sengsara selama bertahun-tahun, bahkan menyeret keluarganya menuju
bencana. Jikapun karena trik licik mereka tidak sampai dibui, kekayaan yang
dimilikinya tidak akan berkah. Anak keturunan yang ikut menikmatinya tanpa
sadar tengah menelan api.

Jadi bukan kekayaan semacam itu yang kita bahas. Kita sedang menata hidup
agar berkelimpahan dengan kekayaan yang berkah, yang maslahat bagi umat.
Tidak hanya harta yang banyak yang kita butuhkan, tetapi juga keadaan yang
lapang. Tidak ada artinya harta banyak kalau kehidupan kita sempit. Lantas, apa
harus kita lakukan untuk membangun kekayaan?

Belilah pensil seharga seribu perak, dan buku seharga dua ribu perak, lalu
mulai tulisan beberapa gagasan bernilai miliaran rupian untuk Anda sendiri.
~ adaptasi dari Bob Grinde ~

Fokus! Untuk membangun kekayaan, kita wajib fokus. Yakinkan diri, bahwa kita
mencurahkan perhatian penuh pada masa depan dan peluang, menjalani usaha,
dan menjaga mentalitas. Ingat selalu, kekayaan bukan sekedar jumlah aset yang
kita miliki, tapi mentalitas kita. Fokus adalah sumber energi yang paling besar
di dunia ini. Dengan lima huruf itulah Anda bisa selamat dari jurang yang gelap.
Anda mungkin pernah mengalami titik terendah dalam hidup. Kesulitan dan
cobaan membelenggu langkah, sampai mau bernafaspun sulit rasanya. Dalam
kondisi seperti itu, hanya FOKUS yang bisa membantu Anda keluar. Saya pernah
mengalaminya. Saat didera pailit dan berbagai ancaman tagihan, saya memilih
untuk fokus pada janji-janji Allah, bahwa Dia akan menolong hambanya yang
bertakwa. Mungkin saya tak pantas mengaku bertakwa. Saya juga malu karena
merasa banyak dosa. Tapi, dalam situasi seperti itu, hanya Tuhan yang saya
miliki. Pada siapa lagi saya akan berpaling jika bukan pada-Nya?

Dengan fokus pada harapan bahwa jalan keluar akan dikaruniakan Allah, kita
akan kuat menghadirkan semangat. Sebaliknya, terlalu fokus terhadap kesulitan
dan kemungkinan gagal akan membuat kita malas bergerak. Di sinilah hukum
sebab akibat terjadi. Jika fokus pada harapan, maka semangat akan muncul.
Akan ada kekuatan untuk bangkit dan berusaha lagi. Dari sanalah muncul
peluang-peluang bagus, dan pengalaman (yang baik dan yang buruk) akan
menjadi guru agar tak lagi salah langkah.

Jadi, kita mau fokus ke mana sekarang? Mana yang lebih sering Anda
pikirkan? Takut rugi atau ingin untung? Ingin kaya atau berharap terhindar dari
kemiskinan? Orang yang fokus pada harapan akan bermain untuk menang, dan
dia akan menang. Orang yang fokus pada kegagalan akan bermain untuk tidak
kalah, dan dia akan kalah. Fokuslah pada yang Anda inginkan, bukan yang Anda
hindari. Think positively! Fokus pada hal-hal yang positif akan mengundang
optimisme. Tak akan mendatangkan kerugian sedikitpun, bahkan menguak
banyak hal baru yang menggairahkan.

Semangat maupun perasaan tak berdaya, keduanya adalah hasil dari fokus.
Bedanya jelas. Semangat merupakan akibat dari fokus pada hal yang kita
inginkan. Rasa tak berdaya sudah tentu akibat dari fokus pada hal-hal yang
tidak kita inginkan. Fokus untuk membangun kekayaan memastikan kita untuk
selalu ingat, bahwa setiap keputusan yang kita ambil selalu menuju kepada
membangun kekayaan. Apakah yang harus kita lakukan dengan uang yang kita
miliki? Disimpan, atau dibelanjakan? Apakah kita harus mempertahankan usaha
kita walau dengan susah payah, atau berhenti saja. Apakah kita tetap naik mobil
yang lama, atau menukarnya dengan yang baru. Apakah kita tetap fokus pada
cita-cita kita, atau lebih banyak mempertimbangkan komentar teman-teman
kita. Rangkaian pertanyaan itu harus direnungkan, dan kita pastikan jawabannya.
Itulah yang saya maksud dengan fokus untuk membangun kekayaan.

Merintis Jalan Kekayaan
Ketika memulai bisnis, biasanya Anda dituntut untuk mengerjakan semua
pekerjaan sendirian. Dari merancang konsep hingga mencatat daftar
belanja. Mungkin Anda sudah tahu bahwa sejumlah bisnis terbesar di
Amerika dibangun dari meja dapur (Amway Corp) atau garasi (Hewlett-
Packard, Apple Computer, Ford Motor Company). Tentu saja, pemimpinnya
yang mengerjakan semua pekerjaan.

Saat memulai bisnis, beranikan diri untuk “melakukan pekerjaan kecil.” Kelak
jika Anda menjadi pemimpin yang sukses, Anda akan merasakan betapa
pentingnya “hal kecil” bagi keberhasilan perusahaan. Pemimpin yang paling
disegani selalu bersedia melakukannya. Apa yang dilakukannya disaksikan
orang lain dan mereka akan menirunya.

Presiden Jetblue Airways secara rutin bekerja menjadi pramugara kabin,
dan melayani penumpang. Dengan cara inilah dia tahu, pelayanan seperti
apa yang disukai pelanggan. Memperoleh data dari tim risetnya yang
handal tentu memadai. Tapi mengetahuinya sendiri
akan membuatnya istimewa.
~~ Brian Tracy, The Way to Wealth in Action ~~

Mas Fahri, teman saya itu, menanggapi tawaran untuk jadi pedagang beras
dengan reaksi spontan. Tahukah Anda, bahwa reaksi spontan seseorang
sedikit banyak menunjukkan mentalitasnya? Peluang menjajal kios beras
langsung ditanggapinya dengan kecemasan dan ketidakberdayaan. Coba
perhatikan ucapannya, Aku nggak akan bisa bersaing dengan pedagang yang
lebih dulu mapan! Tanpa merasa perlu menelisik peluangnya, Mas Fahri sudah
memutuskan bahwa dirinya tak akan mampu bersaing di Pasar Induk. Dia fokus
pada saingan-saingannya. Dia fokus pada ketidakberdayaannya. Dan itulah
yang terjadi. Mentalitas kaya jauh dari genggamannya, karena dia memilih
untuk gagal, bahkan sebelum mencoba.

Dengan tetap fokus pada hal-hal yang positif, kita akan mudah menghadapi
situasi apapun. Bahkan dalam keadaan jatuh, jika fokus, kita tetap bisa bangkit
dan menangkap peluang baru untuk membangun kekayaan. Sebaliknya, fokus
pada kesulitan akan menyandera kita. Energi terkuras hanya untuk menyesali
apa yang telah terjadi, dan kita tak akan beranjak ke mana-mana.

Fokus dan bangkit dari kejatuhan adalah mentalitas orang kaya. Sebuah
kesalahan bisa membuatnya jatuh. Tapi dia akan segera belajar dari kesalahan,
fokus, dan bangkit kembali.
Anda tahu Hasyim Djojohadikusumo? Dia adalah putra begawan ekonomi
Indonesia, Soemitro Djojohadikusumo dan adik Prabowo Subiyanto. Kami
bertemu saat meresmikan kebun kelapa sawit di Kalimantan timur. Kebun saya
dengan kebun beliau bersebelahan, dan penanaman perdana dua kebun itu
dilakukan bersamaan. Ini bukan kebetulan. Saya percaya bahwa peristiwa sekecil
apapun tak luput dari rencana Allah swt.
Salah satu kebun sawit Balimuda di Sumatera
Saat krisis 1997 lalu, hampir semua sektor usaha di tanah terkena imbasnya.
Sektor perbankan, industri otomotif, garmen, dan yang lain tak luput dari badai
krisis. Begitu pula bisnis Hasyim Djojohadikusumo.

Kondisi ini membuat pemerintah cemas. Jika dibiarkan tanpa campur tangan,
perekonomian Indonesia bisa ambruk total. Karenanya, dikucurkanlah program
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) bagi ratusan perusahaan dan perbankan
swasta yang limbung kena krisis ekonomi. Hampir semua perusahaan besar
seperti milik Lim Sioe Liong alias Sudono Salim, Hutomo Mandala Putra, hingga
Siti Hardiyanti Rukmana memperoleh jatah, termasuk perusahaan milik Hasyim.
Dari nama-nama besar itu, banyak sekali yang kesulitan mengembalikan
pinjaman dari program BLBI. Ada yang memang gagal mengelola dana bantuan,
ada yang nakal dan sengaja memanfaatkan kelonggaran pemerintah. Singkat
kata, mereka tak punya niat baik mengembalikan pinjaman itu.

Bagaimana dengan Hasyim? Dia termasuk pengusaha yang kesulitan
membangun kembali usaha karena iklim perekonomian di dalam negeri tidak
kondusif. Dalam kondisi seperti ini, Hasyim sadar betul bahwa hanya fokus yang
bisa membuatnya bangkit kembali, membangun usaha yang lebih tangguh, dan
mengembalikan pinjaman. Tak ingin memaksakan diri di dalam negeri, maka
mulailah dia membangun bisnis di Kazakstan.

Di negara Eropa Timur itu, Hasyim berusaha fokus membangun kembali
kejayaannya. Semua perilaku hidup dan bisnisnya dia fokuskan untuk bangkit
dan sukses. Hasilnya, beberapa tahun kemudian, ia kembali ke tanah air dan
melunasi semua utangnya. Kekayaannya jauh lebih besar daripada saat sebelum
krisis. Hasyim berhasil bangkit dalam waktu yang relatif singkat berkat fokus
untuk membangun. Dia tidak larut dan terjerat dalam kesulitan, tidak pula
menyia-nyiakan waktu untuk mengutuki krisis. Dia fokus, dan dia punya
mentalitas kaya.

“Dik, kita ini orang yang beriman, pasti akan ada jalan” kata Hasyim kepada saya
saat itu.

Kisah William Suryadjaya juga menggetarkan. Empat tahun sebelum krisis
1997, dia harus melepaskan PT Astra International miliknya sebagai bentuk
tanggung jawab pribadi. Bank Summa milik anaknya, Edward Suryadjaya, jatuh.
Sebenarnya, William bisa memilih untuk tidak ikut-ikutan. Tapi dia memutuskan
untuk mempertaruhkan kekayaannya demi membantu anaknya. “Kerugian tidak
pernah menyurutkan semangat hidup saya,” kata William.

Pengusaha kawakan ini paham betul, bahwa lepasnya PT Astra yang ia dirikan
sejak 1957 akan membuat kehidupan keluarganya susah. Dan bagi orang
yang bermental kaya, keadaan susah justru membuat mentalnya semakin
kuat. Dengan tetap fokus pada berbagai peluang dan terus berusaha, William
mengaku menyerahkan penyelesaian urusan ini kepada Tuhan.

Dengan ketulusan dan kegigihan, William akhirnya kembali bangkit. Dia
bahkan dapat merebut kembali kejayaannya dalam waktu lebih singkat. Hanya
mentalitas unggul dan mentalitas orang kaya yang bisa mewujudkannya.
Bagaimana dengan kita?

Orang yang beriman harus percaya bahwa kita punya hak yang sangat besar
untuk menentukan nasib sendiri. Sedihnya, orang-orang dengan mentalitas
miskin menganggap kemiskinan dan kegagalan sebagai jalan hidup yang harus
mereka terima. Sudah takdir, katanya.

Banyak pebisnis yang jatuh bangun, banyak pula yang jatuh dan tak sanggup berdiri
lagi. Riza Zacharias, pemilik Sygma Publishing, pernah mengalaminya. Dia jatuh
bangkrut dan sangat sulit bergerak. Namun demikian, Riza tidak putus asa, dan terus
berjuang dengan dua kunci andalannya: doa dan keyakinan.

Awal 2007, misalnya, banjir besar terus melanda Jakarta. Padahal, kota itu merupakan
pelanggan terbesar buku-buku dan Alquran di percetakannya. Akibatnya omsetnya
menurun drastis, tinggal 30-20 % nya saja. Di saat yang sama, utang ke bank
konvensional sejumlah 250 juta dan gaji seluruh karyawannya, termasuk tagihan ke
beberapa supplier harus dibayarnya.

“Uang kami habis. Saya berusaha habis-habisan, dan meminta penangguhan ke
bank, agar diperbolehkan membayar bulan depan. Mereka tidak mau kompromi.
Walau sudah saya jelaskan bahwa saya sedang kena musibah, bank tak mau terima
dan terus menagih. Akhirnya kita berdoa supaya dilepaskan dari beban utang ini,”
kata Riza.

Menurut Riza, utang bisa membuat seseorang terpuruk atau justru sebaliknya
membuat ia jadi kaya. Itulah prinsipnya. Karenanya, ketika ditawari kemudahan
melalui pembuatan kartu kredit, Riza menolaknya. Dia tahu bahwa kartu kredit
adalah jenis utang yang buruk.

Suatu malam, seorang teman yang sudah puluhan tahun tak bertemu tiba-tiba
menghubunginya dan memesan mushaf Alquran sebanyak 3000 eksemplar.
Riza bersyukur, karena stok yang tersendat untuk Jakarta bisa dikirimkan
untuk memenuhi pesanan tersebut. Alhamdulillah utang pun terbayar.
“Berdoalah dan yakinlah Anda terhadap rizki dari Allah swt” kata Riza.
(Sumber: http://wartaislam.com)

Kita tidak akan membahas ihwal takdir secara panjang lebar di sini. Hanya
menurut saya, ketika sesuatu itu belum terjadi, maka fokus kita adalah berusaha.
Kita bisa menyebut takdir jika sesuatu itu telah terjadi. Menganggap diri tak
mampu menaklukkan kegagalan dan menyalahkan takdir adalah mentalitas
orang miskin. Dan dengan mentalitas semacam ini, tak ada seorangpun yang
akan mampu menuai sukses, sekeras apapun dia membanting tulang. Kerja
keras yang diniatkan sebagai bentuk optimisme tentu berbeda dengan kerja
keras yang dilakukan dengan terpaksa dan penuh keluhan.

Tunggu! Kita sudah sepakat bahwa kaya dan miskin bukan membahas berapa
jumlah harta kita. Kaya dan miskin itu adalah karakter, mentalitas. Di dunia
ini, saya sering bertemu dengan orang-orang yang punya uang “banyak” tapi
bermental miskin. Sebaliknya, saya juga banyak bertemu orang yang jumlah
rupiahnya sangat sedikit, namun bermental kaya. Jalan yang ditempuh oleh
Hasyim Djojohadikusumo dan William Suryadjaja menunjukkan bahwa diri
merekalah yang berhak memberi warna dalam kehidupan mereka. Bukan
keadaan, bukan pula orang lain.

Orang yang beriman bertanggung jawab 100% terhadap hidupnya. Mereka
sadar bahwa hidupnya bukan tanggung jawab orang lain. Tak ada yang patut
dipersalahkan atas kegagalan yang menimpa diri kita. Sebaliknya, orang yang
tidak beriman selalu menyesali keadaan, menyalahkan orang lain, mengeluh,
dan sulit melihat sesuatu yang bisa disyukuri. Dia bermental miskin. Sebanyak
apapun hartanya, dia akan jatuh miskin. Dan ketika dia jatuh miskin, semua dia
salahkan, kecuali dirinya sendiri.

Mengeluh kepada orang lain juga ciri mentalitas miskin. Biasanya dia mengeluh
kepada orang yang tidak tepat, yang tidak memberinya solusi apapun. Misalnya,
seorang suami mengeluh ke teman atau saudara atas perilaku istrinya yang
boros. Sementara itu, dia tak pernah bicara apapun kepada istrinya. Yang boros
itu istrinya, tapi yang dia recoki adalah orang lain. Tak akan ada kebaikan yang
datang dengan cara seperti ini.

Lain halnya dengan mentalitas orang kaya. Dia bertanggung jawab atas
hidupnya dan keluarganya. Jika istrinya hidup boros, maka dia akan langsung
berbicara kepada istrinya. Mereka paham betul, bahwa mengeluh ke orang yang
tidak tepat justru akan memperburuk keadaan. Membereskan masalah dengan
cara yang tepat adalah ciri mentalitas kaya.

Selanjutnya, orang yang bertanggung jawab tidak akan menyalahkan keadaan
apapun termasuk kegagalan bisnis dan utang. Mereka akan intropeksi atas apa
yang terjadi. Mereka tahu bahwa tagihan bertumpuk, didatangi debt collector,
bisnis merugi terus menerus, bahkan bangkrut itu bukan masalah. Itu semua
adalah gejala atau tanda-tanda masalah. Semuanya adalah alarm peringatan,
agar mereka mencari apa yang salah. Begitu memperoleh peringatan pertama,
orang bermental kaya akan segera memperbaiki diri, dan berusaha tidak jatuh
di lubang yang sama.

Lain halnya, orang miskin cenderung berkata “Saya sedang dirundung masalah.
Utang saya banyak. Rumah saya mau disita bank...Gara-gara klien saya kabur
tanpa bayar, bisnis saya jadi berantakan.” Yang lazim terjadi, setelah mengeluh,
orang yang bermental miskin akan menyalahkan keadaan. Alih-alih koreksi
diri, dia justru fokus pada kegagalan, dan pihak-pihak yang dia tuduh sebagai
penyebabnya. Kesalahan berpikir ini terjadi karena tidak adanya fokus, atau
karena kita fokus kepada hal-hal yang salah. Apa sajakah itu? Mari kita bahas
satu persatu.

Pertama, fokus pada hal-hal yang bisa dilakukan, bukan pada hal-hal yang
tak bisa dilakukan.
Orang yang bertanggungjawab selalu fokus pada hal yang bisa dilakukannya.
Dia mencari jawaban atas masalah dengan bertanya, bagaimana.
Bagaimana agar saya bisa....?
Bagaimana agar keadaan ini jadi lebih baik?
Orang yang memilih untuk mengeluh, mencari pembenaran, memaklumi dirinya
sendiri, dan menyalahkan orang lain akan sibuk mencari jawaban dengan
bertanya mengapa.
Mengapa bisa begini?
Mengapa saya gagal?
Mengapa dia tega menipu saya?

Dua kata tanya ini terlihat sepele, namun bisa menunjukkan karakter seseorang.
Pertanyaan mengapa selalu dijawab dengan karena. Diulang berapa kalipun,
jawabannya selalu karena. Sayangnya, kata karena bisa berupa apologi semata,
dan jawaban yang menggunakan kata karena tidak akan menyelesaikan masalah.

Lain halnya dengan bagaimana. Jawaban dari pertanyaan ini adalah cara,
strategi, atau solusi. Ketika diajukan kedua atau ketiga kalinya, kemungkinan
jawabannya bisa jadi berbeda. Improvisasi dan inovasi sangat dimungkinkan
untuk bisa menjawabnya. Orang yang bertanggung jawab juga mengajukan
pertanyaan mengapa, tapi biasanya hanya satu kali untuk satu kasus. Selebihnya
adalah bagaimana.

Only one who devotes himself to a cause with his whole strength and soul
can be a true master. For this reason mastery demands all of a person.
- Albert Einstein

Beberapa saat setelah Jepang diluluhlantakkan oleh bom atom, salah satu
pertanyaan yang dilontarkan oleh Hirohito adalah, Bagaimana agar kita tetap
bisa menguasai dunia? Padahal, waktu itu mimpi Jepang untuk menguasai
dunia dengan cara militer sudah pupus karena kalah dalam Perang Dunia II.
Lihatlah bagaimana mentalitas orang yang besar menghadapi kegagalan. Dia
tidak menyalahkan pasukan spionasenya yang gagal mengendus serangan bom
atom, tidak juga menyesali takdir yang berlaku.

Sebaliknya, demi menjawab pertanyaannya sendiri, Hirohito mengumpulkan
para ahli yang selamat dari serangan bom. Mereka merancang berbagai program
untuk bangkit dan menuai keberhasilan. Dan benar. 30 Tahun kemudian, citacita
Hirohito terwujud. Bangsa Jepang berhasil menguasai dunia lewat teknologi
yang mereka bangun. Barang-barang elektronik dan kendaraan produk Jepang
merajai pasar dunia, bahkan pasar Amerika yang pernah menaklukkannya tiga
puluh tahun yang lalu.

Kedua, fokus untuk menang, bukan fokus untuk tidak kalah.
Menang dan tidak kalah. Sepintas, dua istilah itu terlihat sama. Padahal, efek
dari keduanya sangat berbeda. Coba kita cermati ilustrasi berikut ini :
Orang yang fokus untuk tidak kalah akan selalu berpikir, bagaimana dia bisa
mempertahankan uangnya—agar tidak habis atau hilang. Setiap gerakan yang
dilakukannya adalah untuk bertahan hidup, atau survival. Inilah karakter khas
orang miskin. Serapat apapun dia menjaga uangnya, suatu saat akan habis juga.
Jika tidak diambil untuk keperluan hidupnya, maka uang itu akan tergerus inflasi.
Dia tidak ingin kalah. Dia bahkan takut kalah. Padahal, dengan gaya mentalitas
miskinnya itu, dipastikan dia bakal kalah.
Bermainlah untuk menang, bukan bermain untuk tidak kalah!
Lain halnya dengan orang yang fokus untuk menang. Dia akan berpikir,
bagaimana menjadikan uangnya lebih bermanfaat dan berkembang. Dia akan
menelisik peluang usaha dan melakukan investasi dengan cermat, sehingga
mendatangkan keuntungan. Ingin menang dan tak ingin kalah ternyata beda
sekali. Karenanya, fokuslah untuk menang!

Ketiga, fokus pada tujuan, pada kekuatan kita, dan pada janji-janji Tuhan.
Fokus pada hal-hal yang positif adalah sumber energi yang paling besar.
Sebaliknya, orang yang sedang sedih dan kehilangan semangat adalah orang
yang kehilangan fokus. Anda pasti kenal Burhanuddin Jusuf Habibie. Namanya
seolah menjadi jaminan mutu di bidang industri teknologi Indonesia. Dia punya
fokus luar biasa, termasuk dalam membangun negara. Satu strategi yang
diajarkan Habibie untuk menjaga fokus adalah “Mulailah dari yang akhir dan
akhirilah dari yang awal.”

Apa maksudnya?

Di Bandara Singapura, saya bertemu seorang pemuda Indonesia yang baru
pulang dari Thailand. Pemuda enerjik itu mengaku bekerja di sebuah perusahaan
besar Singapura dengan gaji besar. Semula, dia adalah karyawan IPTN Bandung
yang belum lama dibubarkan.

Tahukah Anda bahwa Habibi mendirikan IPTN dengan pijakan kuat dan fokus
yang jelas. Dia berpendapat bahwa untuk disebut sebagai negara maju, Indonesia
harus bisa memproduksi pesawat, bukan hanya penghasil beras atau produsen
wajan. Pesawat terbang merupakan lambang kemajuan dan peradaban suatu
bangsa. Itulah the end of mind yang diyakini Habibie.

Sadar dengan kemampuan Indonesia yang masih pendatang baru, Habibie
mempraktikkan strategi mulailah dari yang akhir dan akhirilah dari yang
awal. IPTN tidak bisa langsung membuat pesawat, dan harus melakukannya
secara bertahap. Jadi, yang mula-mula dilakukan IPTN adalah memproduksi
komponen-komponen pesawat untuk perusahaan Bell dan Boeing. Setelah
berhasil menjadi pembuat salah satu komponen pesawat Bell dan Boeing, IPTN
mulai merancang pembuatan pesawat CN dengan join venture bersama Cassa
dengan prosentase 50 : 50.
IPTN, tinggal selangkah lagi
Tahap berikutnya, IPTN berhasil memproduksi pesawat sendiri. Untuk
mendapatkan lisensi dan pengakuan dunia, sebuah perusahaan harus membuat
minimal empat prototipe pesawat. Ketika itu, IPTN telah berhasil membuat dua
prototipe. Tinggal dua prototipe lagi, dan Indonesia akan memperoleh lisensi
sebagai negara penghasil pesawat.

Fokus pada hal-hal yang positif adalah sumber energi yang
palingbesar. Orang yang fokus untuk menang akan berpikir, bagaimana
menjadikan uangnya lebih bermanfaat dan berkembang. Dia akan menelisik
peluang usaha dan melakukan investasi dengan cermat,
sehingga mendatangkan keuntungan.

Jika IPTN memperoleh lisensi, maka kompetisi perusahaan penghasil pesawat
di dunia makin ketat, dan sebuah perusahaan pesawat dari Perancis terancam
tersaingi. Berikutnya, dibuatlah skenario sistematis untuk melemahkan IPTN.
Di saat yang sama, krisis global yang melanda dunia ikut memperburuk
perekonomian Indonesia. Michael Camdessus datang ke Indonesia seolah
sebagai pahlawan yang menawarkan bantuan dari IMF untuk Indonesia. Syarat
IMF cukup ketat dan banyak, salah satunya adalah, APBN tidak boleh lagi
membantu pembiayaan IPTN.

Ironisnya, di saat itu juga, gelombang protes terhadap IPTN mulai gencar
terjadi di tanah air. Sebagian masyarakat mempertanyakan pemborosan yang
dilakukan IPTN yang dinilai sebagai high teknologi dan padat modal. Sebagian
lagi menuntut dibubarkannya IPTN karena tidak sesuai dengan kondisi Indonesia
sebagai negara agraris. Jadi selain dari dunia luar, serangan terhadap IPTN juga
terjadi dari dalam negeri dan peristiwa itu berlangsung hampir bersamaan.

Singkat cerita, IPTN akhirnya dibubarkan. Sebagian besar sumber daya manusia
jempolan yang dimiliki IPTN langsung direkrut oleh banyak perusahaan asing,
termasuk pemuda enerjik tadi. Bertahun-tahun sesudahnya, Indonesia yang
mengklaim diri sebagai negara agraris, hingga kini tetap saja masih sering
mengimpor beras dan produk-produk pertanian lainnya dari Vietnam, bahkan
Amerika. Artinya, hingga kini Indonesia bukan negara industri, bukan pula
sebagai negara agraris. Indonesia telah kehilangan fokus dalam membangun
bangsanya.

Begitulah. Habibi tak bisa meyakinkan Indonesia, atau mungkin, Indonesialah
yang belum siap berinteraksi dengan cara berpikir Habibi. Kita masih sering
memilih untuk tergantung pada penyelesaian pragmatis seperti utang dari luar
negeri. Indonesia memilih melepaskan mimpinya yang hanya tinggal beberapa
langkah, demi kucuran utang dari IMF.

Selain menjadikannya sebagai pengalaman, orang kaya akan selalu melihat
peluang di setiap masalah. Sebaliknya, orang miskin selalu menonjolkan
masalah dan bahkan selalu melihat masalah di setiap peluang. Anda percaya?
Mari kita buktikan

Yang sering kita dengar dari orang miskin atau bangkrut adalah, “Saya tak punya
modal usaha, jadi usaha seret dan susah berkembang. Anak saya sakit, jadi
modalnya buat berobat. Akhirnya saya jatuh miskin.” Sebaliknya, jika bertanya
kepada orang kaya, kita tak akan mendengar pernyataan “Saya berhasil karena
saya punya modal.” Harry Sanusi termasuk orang yang melihat peluang di balik
masalah. Pada 1991, pengusaha kelahiran Pontianak ini ditawari seseorang untuk
jadi distributor minuman larutan penyegar. Beberapa orang pernah menolak
tawaran ini, karena produk tersebut belum dikenal masyarakat. Lain halnya
dengan Harry yang waktu itu masih kuliah di Universitas Indonesia. Dengan
berani dia terima tawaran itu, walaupun pengetahuan dan pengalamannya
tentang distribusi sangat terbatas.

Untuk mendirikan perusahaan distributor, Harry dibantu penuh oleh produsen
larutan penyegar tersebut. Singkat cerita, setelah mengalami pahit getirnya
mendistribusikan produk baru, larutan penyegar itu berkembang dan dikenal
luas di Jakarta, bahkan di beberapa daerah lainnya. Tahun 1997, saat perusahaan
di puncak kejayaannya hingga punya lebih dari 500 karyawan, produsen
tersebut memutuskan hubungan kerja sama secara sepihak. Apa sebabnya,
Harry tak pernah tahu hingga kini. Bukan hanya bingung, Harry sampai depresi
dan berobat ke luar negeri. Bagaimana tidak. Usahanya adalah distribusi, dan
kini produk yang biasa dia distribusikan mendadak tidak ada.

Tapi lihatlah, bagaimana orang bermental kaya menghadapi masalah.
Bagaimana dia jatuh, kemudian kembali fokus untuk bangkit. Empat bulan
setelah guncangan itu, Harry menjalin kerja sama dengan beberapa produsen,
dengan mengandalkan jaringan distribusi yang pernah dimilikinya. Hasilnya
kurang jauh dari harapan. Lebih-lebih, saat itu sedang krisis ekonomi. Semua
orang mengencangkan ikat pinggang. Itu masalah. Tapi Harry tak kehilangan
fokus. Dia tidak merengek karena merugi, apalagi menyalahkan krismon.

4 hal yang menyebabkan pebisnis jatuh miskin
1. Tidak memahami bisnis. Bisnis dijalankan dengan cara nekat, tanpa
menggunakan ilmu dan keterampilan. Pebisnisnya tidak fasih dalam
bahasa bisnis dan tidak memiliki kompetensi finansial.

2. Berbisnis dengan emosional. Tidak sedikit orang yang jatuh bisnisnya
karena selalu mengambil keputusan dengan emosi. “Business is
intellectual sport, it isn’t emosional sport.”

3. Tidak secara sadar membangun kekayaan. Bisnis adalah cara untuk
membangun kekayaan, tetapi banyak orang yang berbisnis sekedar untuk
gaya hidup atau sekedar kegiatan yang akhirnya justru mendapatkan
masalah dan jatuh miskin.

4. Tidak memahami utang. Banyak pebisnis yang jatuh dalam lilitan utang
karena tidak memiliki ilmu tentang utang. Mereka mengambil utang
yang salah, berutang dengan cara yang keliru, berutang pada waktu
yang tidak pas dan lain-lain. Utang itu seharusnya menjadi leverage yang
akan membuat bisnis kita berkembang. Jika keliru, utang justru akan
membuat masalah semakin dalam.

Berkat pengalaman pahit ditingggalkan produsen, Harry memutuskan untuk
punya produk sendiri. Apa yang dia produksi? Dia memilih permen! Barang itu
sama sekali tidak sepele, dan diputuskan melalui riset pasar yang matang. Maka
meluncurlah produk permen bermerk Kino, dan langsung bersaing dengan
Kopiko yang lebih dahulu eksis di pasaran.

Di situasi krisis, permen Kino produksi Harry Sanusi mendapat tempat. Harry
tetap fokus melihat peluang ketika semua jenis bisnis tiarap dan runtuh.
Branding permen Kino melalui media cetak maupun elektronik juga diterima
pasar. Anda bisa tebak. Dalam waktu singkat, bisnis Harry kembali bersinar. Tak
berhenti di situ, Harry terus mengembangkan produknya hingga 400 varian.
Semua produknya terus merebut perhatian konsumen. Harry bangkit dan
berjaya, sementara kolega-koleganya yang lebih fokus pada masalah ketika
terjadi krisis, kondisinya belum juga membaik.

Perusahaan saya Balimuda juga sempat jatuh. Jasa persewaan alat-alat berat
di sektor perkebunan rugi berat dan membuat kami berdarah-darah. Kami
bangkrut dan menanggung utang besar. Dalam kondisi seperti itu, kami tetap
fokus. Kami merasa punya kelebihan berupa pengetahuan yang memadai
tentang perkebunan. Kami bisa presentasi tentang bisnis perkebunan yang
sangat prospektif dengan data dan analisa yang akurat. Satu-satunya kendala
yang menghadang kami adalah cash money yang bukan hanya terbatas, tetapi
minus. Tagihan demi tagihan membuat kami kian kepepet. Rumit sekali.

Dalam keadaan seperti itu saya dan kakak saya Hj. Rima Melati yang juga dalam
keadaan bangkrut usahanya memutuskan untuk bergabung dan membangun
bisnis baru di bawah United Balimuda Group, jika dulu saya dan kakak saya
fokus pada bisnis jasa alat-alat berat yang mengerjakan proyek perkebunan
kelapa sawit maka sekarang justru kami melihat bahwa kami bisa berkembang
pada bisnis perkebunan kelapa sawit itu sendiri. Kami tetap melihat peluang
besar di bisnis perkebunan. Fokus pada peluang.

Karena itu, dengan kompetensi yang kami miliki di bidang perkebunan, kami
mulai mencari lahan - lahan perkebunan yang potensial, kami mulai membeli
lahan yang masih belum banyak dikerjakan oleh pemilik sebelumnya sehingga
harganya pun tidak terlalu tinggi. Atas kebun yang kami miliki tersebut
sebelumnya kami telah berbicara dengan beberapa pemain perkebunan sawit
besar untuk menjajagi kerja sama, sebagian sahamnya kami jual untuk bersama
- sama membangun perkebunan yang kami rencanakan. Itulah yang dilakukan
di Balimuda untuk bangkit, dilakukan tidak hanya pada satu proyek saja tetapi
beberapa proyek terus terjadi seiring dengan kepercayaan pemain di industri ini
kepada United Balimuda. ada juga kebun yang tetap kami miliki sendiri 100%,
selama kami bisa membangunnya. Kami memulai lembaran baru. Berbagai
persoalan yang menghimpit justru menjadi guru yang paling berharga, sehingga
Balimuda bangkit dan berkembang mencapai impiannya, menjadi jauh lebih
baik dari yang sebelumnya.

Apa yang kami lakukan di Balimuda saat perusahaan menghadapi masa sulit
adalah pilihan. Jika kondisi yang sama dihadapkan kepada orang lain, pilihannya
belum tentu sama. Bisa jadi, beberapa orang akan memilih menyerah, dan
mengeluh: Aku kan tak punya jaringan, aku sudah berbaik hati kepada
karyawan. Mengapa dia tega membuatku bangkrut? Kami kan kawan baik, kok
dia mengkhianati kesepakatan kami?

Andapun demikian. Dalam keadaan sesulit apapun, Anda bisa memilih untuk
tampil sebagai orang yang bermental kaya, yang tetap melihat peluang dan
setiap masalah. Atau, Anda juga bisa memilih seperti Mas Fahri, yang fokus
pada masalah yang akan dia hadapi dalam perdagangan beras. Akibatnya,
makin banyaklah masalah yang berderet menakut-nakuti dia. Itulah mentalitas
orang miskin. Selalu melihat masalah dalam setiap peluang. Beda halnya dengan
orang yang bermental kaya. Dia akan menemukan peluang yang semakin
banyak dalam setiap masalah yang menimpanya.

Bagaimana melatih fokus?
Setiap selesai shalat subuh, saya ambil secarik kertas dan tuliskan tiga hal: my
promise, my goals, dan thing to gets done today. Itulah alat bantu saya untuk
tetap fokus terhadap hal-hal yang saya inginkan terjadi dalam hidup saya. Ketika
tangan saya menulis, saya merasa benar-benar fokus—saya tahu betul apa yang
harus saya lakukan. Dan hal mendasar ini telah membawa saya pada sebuah
kemajuan dalam hidup saya.

Support System yang menjaga kita tetap semangat
Dalam kondisi yang penuh tekanan, orang cenderung kehilangan fokus, frustasi,
bahkan seolah tak mampu bergerak. Begitu pula jika usaha yang kita bangun
tak kunjung menuai hasil. Semangat yang semua menggebu kian luntur, dan
akhirnya hilang sama sekali. Kita jadi kehilangan keyakinan kepada orang lain,
dan lebih parah lagi, pada diri sendiri.

Di saat seperti itu, kita perlu dukungan dari orang-orang terdekat yang kita
percaya. Merekalah yang saya sebut sebagai support system. Mereka adalah:
Family Unit
Mentor bisnis
Guru Kehidupan
Sahabat dekat
Orang kepercayaan

Family unit
Saya pernah bangkrut dan alhamdulillah berhasil lolos. Karenanya, banyak orang
bangkrut mendatangi saya dan mengajak diskusi. Mereka rata-rata mengalami
kejatuhan bisnis, atau dikejar utang karena investasi yang gagal. Dari semua
resiko yang mengancam, yang paling mereka risaukan adalah bagaimana
agar keluarganya tidak terganggu. Bagaimana tidak. Kebanyakan dari mereka
menggadaikan rumah yang ditinggali keluarga demi memperoleh modal. Kita
mungkin tidak sadar, bahwa bank paling sering minta rumah yang kita tempati
sebagai jaminan.

Allahumma aghnini bihalaalika ‘an haraamika, wa bifadhlika ‘amman
siwaaka.
Ya Allah, cukupkanlah aku dengan rezeki-Mu yang halal sehingga aku tak
butuh pada rezeki-Mu yang haram, dan cukupkanlah aku dengan
karunia-Mu sehingga aku tak butuh lagi pada selain diri-Mu
(Doa Ali bin Abi Thalib agar terbebas dari utang)

Bank tahu betul, bahwa cara yang paling efektif untuk menekan nasabah agar
terus membayar adalah dengan mengancam rumah mereka. Siapa sih yang rela
rumahnya disita? Inilah yang membuat banyak pengusaha yang bangkrut dan
jadi sangat miskin. Demi mempertahankan rumah yang ditempati keluarganya,
dia mereka terus memaksakan diri membayar. Padahal sebenarnya mereka sudah
tidak mampu membayar. Akhir ceritanya sangat mudah ditebak. Utang semakin
banyak, masalah tak selesai, bahkan rumah pada akhirnya disita juga. Semoga
Anda bukan orang yang pernah mengalaminya. Jikapun pernah, maka inilah
saatnya mengubah fokus kita. Stop fokus pada masalah, dan mulailah fokus
untuk membangun kehidupan yang sehat. Artinya, kita harus bisa berhitung
dan memutuskan, kapan suatu masalah perlu kita ulur, dan kapan harus kita cut,
kita hentikan sepenuhnya. Uang di tangan kita, yang jumlahnya tak seberapa
itu sangat krusial untuk membangun sesuatu, bukan untuk sekedar menunda
masalah.

Saya pernah nyaris kehilangan rumah yang saya agunkan karena tak sanggup
bayar cicilan utang. Perih sekali rasanya, membayangkan istri dan anak-anak
saya harus terusir dari rumah. Saat itu, saya bertanya kepada istri saya, Ma,
kalau Allah hendak mengambil rumah kita bagaimana? Berat memang. Tapi
pertanyaan itu harus terucap, agar saya tahu pendapat dan perasaan istri saya.
Alhamdulillah, istri saya memberikan dukungan yang luar biasa, sehingga
semua kesulitan yang menghimpit bisa saya lewati dengan lebih mudah. Insya
Allah nggak apa-apa, Pa. Kalau Allah ambil, kita relakan rumah ini. Tetapi jika
Allah berkehendak, rumah ini tetap insya Allah akan menjadi milik kita.” Jawaban
yang menyejukkan hati dari orang-orang terkasih seperti ini membuat banyak
pengusaha besar bertahan dalam situasi serumit apapun.

Bukanlah dari golongan kami orang yang diperluas rezekinya oleh Allah lalu
kikir dalam menafkahi keluarganya.
~ HR. Ad-Dailami ~

Pasangan hidup berperan sangat penting dalam keberhasilan kita di bidang
apapun. Sejauh yang saya temukan, orang yang bermasalah dalam kehidupan
rumah tangganya tak akan bisa berhasil dalam usahanya. Kepada teman-teman
saya selalu berpesan, jika ingin sukses dalam bisnis, maka suami istri harus
saling ridho. Artinya, suami istri harus jadi tim yang saling mendukung, saling
ikhlas, dan saling memahami.

Selain pasangan, yang juga termasuk dalam family unit adalah orangtua kita dan
anak-anak kita. Bagi yang masih memiliki orangtua, nasihat dan dukungan tulus
yang mereka berikan akan membuat kita tenang dan percaya diri. Begitupun
dengan anak-anak. Ocehan mereka yang masih kecil, obrolan mereka yang
sudah mulai remaja atau dewasa, adalah wujud kasih sayang mereka kepada
kita. Sebagai orangtua, kita merasa bahwa kehadiran kita mereka butuhkan.
Perasaan itu juga memberikan energi yang luar biasa untuk bertahan dalam
krisis dan bangkit kembali untuk mendampingi mereka hingga dewasa.

Nah, kita jika kita sepakat bahwa keluarga sangat penting, jika kita ingin memiliki
kehidupan yang luar biasa, yang bahagia dan tahan banting, maka keluargalah
yang harus dibangun paling awal. Banyak orang yang saya temui mengaku lupa.
Saat sedang semangat membangun bisnis, mereka lupa keluarga. Pendapat
pasangan diabaikan, keluhan anak-anak dibungkam dengan uang. Tapi begitu
usaha mereka redup dan mulai runtuh, mereka lari kembali ke rumah. Memang
mau kemana lagi coba? Rumah selalu jadi pelabuhan terbaik.

Mentor Bisnis
Pertama kali membangun bisnis, saya sangat yakin bisa sukses. Semua langkah
dan keputusan saya ambil dengan penuh percaya diri. Semangat menggebu, dan
keuntungan yang besar menari-nari di depan mata. Hari berganti hari, tahun
demi tahu, usaha saya tak kunjung memperlihatkan hasil. Hasrat saya mulai
luntur, tapi saya tak bisa mundur. Kan modal saya sudah banyak tertanam di situ.
Saya harus sukses, saya tahu itu. Tapi bagaimana?

Membangun bisnis adalah masalah keahlian. Kita memerlukan nasihat dari
orang yang berpengalaman dan sangat kita percaya. Kita perlu mentor; dan
dia haruslah orang yang sudah berhasil membangun kesuksesan. Belajar
memang bisa dari siapa saja, tetapi meminta pendapat harus dari orang yang
pengalaman. Orang yang hanya mengandalkan ilmu tapi miskin pengalaman
akan banyak memberikan saran yang berbahaya. Biasanya, dia hanya pintar
memompa optimisme dan melupakan yang lain.

Tujuanku bukan mengajarkan metode agar diikuti oleh setiap orang yang
ingin berpikir benar, tapi semata-mata memperlihatkan bagaimana aku
mencoba menggunakan akalku.
~ René Descartes ~

Kini saatnya Anda berhenti bekerja untuk orang lain! Anda tak akan pernah kaya
hanya dengan jadi karyawan. Jadilah bos untuk diri Anda sendiri. Luar biasa!
Anda akan merasa sangat luar biasa! Pernahkan Anda menghadiri kelas motivasi
semacam itu? Saya banyak menemukan orang yang gegabah meninggalkan
pekerjaan bergaji tinggi demi menuruti saran yang emosional dan menggebugebu.
Dengan tekad punya bisnis sendiri, dia melepaskan pekerjaannya dengan
gagah berani. Dan, tak perlu menunggu lama, dia akan kembali mengajukan
berbagai lamaran—kali ini dengan jabatan dan gaji yang jauh lebih rendah.
Membangun kekayaan tak cukup dengan modal semangat menggebu-gebu
semata. Yang lebih membuat miris, banyak juga orang yang ingin jadi kaya
dengan mengubah gaya hidupnya. Dengan berbagai cara, mereka tampil
dengan gaya hidup mewah. Begitulah. Niatnya sama-sama ingin menjadi kaya.
Niatnya sama-sama mulia. Tapi tak semua bisa melakukannya dengan cara yang
benar.

Karena itulah seorang mentor bisnis diperlukan. Dia adalah orang yang pernah
mengalami berbagai peristiwa—merintis usaha, bahkan pernah mengalami
kejatuhan dan bangkit kembali untuk menuai sukses. Lebih dari itu, dia bisa
merumuskan metode suksesnya dan bersedia mengajarkannya kepada orang
lain. Dari orang seperti inilah kita belajar tentang bisnis, mendengarkan pendapatpendapatnya,
dan melakukannya. Dari dia kita memperoleh bimbingan tentang
bagaimana sukses membangun bisnis, dan bagaimana sukses membangun
kekayaan.

Menghadiri seminar motivasi dan strategi bisnis atau membaca buku sangat
penting, tetapi tidak cukup. Kita tetap perlu seorang mentor. Bisa jadi, apa yang
disampaikan mentor kita sama persis dengan apa yang pernah kita dengar dari
seminar atau kita baca dari buku. Tapi rasa hormat dan percaya kita terhadap
pengalaman hakiki maupun praktisnya tak akan pernah sama.

Guru Kehidupan atau Guru Spiritual
Siapa mengenal dirinya, maka akan mengenal Tuhannya.
Hadith qudsi ini sangat bermakna bagi saya. Berhasil tidaknya perjalanan hidup
manusia selalu kembali pada pertanyaan: sejauh mana kita mengenali diri
sendiri. Kita sudah membahas topik ini di bagian pertama.

Bagi orang-orang shaleh dan berilmu makrifat tinggi, mengenal diri dan Allah swt
mungkin bisa mereka lakukan sendiri. Setiap langkah dan geraknya selalu dalam
koridor ketentuan Allah swt. Tapi orang-orang biasa—seperti saya ini—tetap
memerlukan bimbingan dari seorang guru kehidupan untuk bisa mengenali diri
secara hakiki, dan pada akhirnya mengenal Allah swt. Dialah support system
yang bisa mendampingi langkah saya agar tetap berada di jalan-Nya.
Guru kehidupan bisa siapa saja, tetapi umumnya adalah guru spritual, kyai, atau
ustadz yang sangat kita hormati petuah-petuahnya. Dia akan membantu kita
mengurai benang kusut masalah yang kian rumit jika kita selalu mengandalkan
pemikiran dan pendapat sendiri. Allah swt telah memberikan panduan hidup
yang sangat lengkap, yang tidak ada keraguan di dalamnya, yaitu Alquran dan
Hadist. Kita memerlukan guru kehidupan ini untuk menemani kita menyelami
kedua panduan itu agar bisa memperoleh hikmahnya secara benar. Melalui dia,
kita akan memperoleh pencerahan agar selalu bisa kembali kepada Allah swt.

Banyak peristiwa dalam hidup kita yang tidak mudah kita pahami. Ujian dan
cobaan sering hadir sebagai masalah yang membuat hati sesak. Kadang kita
luput mengenali rahmat Allah yang diturunkan-Nya melalui kesulitan yang
menghimpit. Padahal, Allah sedang menguji kita, agar kualitas kehidupan kita
menjadi lebih baik. Dalam hal-hal seperti itulah seorang guru kehidupan sangat
penting. Mereka akan membantu kita melihat dan mengenali rahmat Allah yang
kadang tersembunyi.

Orang kepercayaan
Support system yang terakhir adalah orang kepercayaan atau inner circle.
Mereka adalah orang-orang yang sehari-hari berada di sekeliling kita seperti
bawahan kita dan anggota tim kita. Sedikit banyak, mereka ikut menentukan
kualitas hidup kita. Jadi, pastikan bahwa mereka adalah orang-orang yang
terseleksi. Anda bisa menilainya melalui perilakunya menghadapi berbagai
peristiwa, bagaimana mereka bersikap saat Anda mengalami musibah, atau
sekedar mendengar bisikan nurani Anda.

Bisa jadi mereka adalah bawahan kita. Dalam banyak hal, kita adalah pemimpin
dan panutan mereka. Namun dalam kondisi yang sangat unik dan seringkali kritis,
kita sadari atau tidak, ucapan dan pendapat mereka sangat mempengaruhi diri
kita. Saat kita sedang terpuruk, kata-kata penuh optimisme dan penghiburan
dari seorang karyawan bisa membuat kita bangkit. Sebaliknya, saat berada di
puncak kesuksesan, kita bisa juga bisa terjerumus oleh pujian dan saran gila
mereka. Pernahkah Anda mendengar, ada pimpinan yang jatuh gara-gara
orang-orang terdekatnya? Banyak sekali!

Anda boleh bersyukur jika inner circle Anda adalah orang yang terseleksi
dengan baik, memiliki kehidupan keluarga yang baik, sholeh, jujur, dan loyal.
Mereka bukan hanya jadi teman di kala senang, tapi juga jadi penopang di saat
kita goyah.

“Tiga perkara yang boleh mengeratkan persahabatan dengan saudaramu
yaitu memberi salam apabila bertemu dengannya dan menyediakan tempat
duduknya dalam sesuatu majlis serta panggilah ia dengan
nama yang paling disenanginya.”
~ Riwayat Al-Tabrani ~

Sahabat dekat
Kalau kau ingin tahu (watak) seseorang, maka lihatlah dengan siapa dia bergaul.
Sabda Rasulullah saw itu jelas sekali maknanya. Diri kita sangat dipengaruhi oleh
teman-teman terdekat kita. You are the average of five. Mungkin Anda memiliki
sahabat yang lebih dekat dari saudara. Banyak orang yang merasa lebih dekat
dengan sahabat daipada dengan kerabat sendiri. Bahkan ada yang bertikai
karena anggota keluarganya memilih untuk membela seorang sahabat.

Pastikan bahwa kita memiliki sahabat yang baik, memiliki mentalitas unggul,
juga disukai oleh keluarga kita. Artinya, pasangan kita juga mendukung
persahabatan itu. Hanya hubungan persahabatan yang diridhoi oleh pasangan
kitalah yang akan mendatangkan manfaat. Jika karena sebab tertentu keluarga
tidak menyukai sahabat Anda, maka saran saya sederhana saja, love your family
and choose your friend.

Sahabat yang baik sangat besar perannya sebagai salah satu support system
kita. Jika Anda belum punya, temukan dia. Bangunlah persahabatan dengan
orang yang memiliki semangat sukses, karena semangatnya itu akan menulari
kita.

Support system adalah trusted people. Keluarga, mentor bisnis, guru kehidupan,
orang kepercayaan, dan sahabat dekat adalah orang-orang yang sangat kita
percayai. Kita sepenuhnya yakin bahwa mereka tidak akan mencelakai kita. Kita
juga sepenuhnya tahu bahwa dalam situasi tertentu, mereka akan berbicara
dengan lugas—kadang menyakitkan. Dari mereka, kita tak hanya mengharapkan
pujian di permukaan, tapi juga kritik yang menghujam ke dasar persoalan.
Mereka bahagia saat kita sukses, menjaga saat kita lengah, dan menemani saat
kita terhimpit.

Bagaimana membangun support system? Untuk memiliki supporting unit
yang bisa kita percayai, langkah pertama dan utama yang harus kita lakukan
adalah menjadi orang yang terpercaya terlebih dahulu. Bangun kepercayaan
mereka kepada Anda, terlebih family unit yang mendampingi Anda setiap
saat. Mereka adalah penopang yang selalu ada, yang selalu menjaga, bahkan
tanpa kita minta. Begitu pentingnya posisi support system ini, sehingga dengan
memiliknya, sebenarnya kita sudah punya tim yang sangat tangguh. Tak ada
yang bisa menghadang kita, karena berkat dukungan mereka, kita akan selalu
fokus pada tujuan, dan menang.

FOKUS pada apa yang bisa dilakukan
FOKUS untuk menang
FOKUS pada tujuan, pada kekuatan kita, dan pada janji-janji Allah


Baca Juga :