Sunday, June 18, 2017

Strategi Membangun Kekayaan Tanpa Riba Part1

PERTANYAAN 1
SEBERAPA BESAR KAPASITAS YANG ANDA SIAPKAN?

Agar bisa fokus ke bisnis yang baru saya kelola, jabatan nyaman di sebuah
perusahaan saya tinggalkan. Saya yakin akan berhasil. Namun ternyata, harapan
itu tak mudah terwujud. Bisnis yang saya bangun selama 2 tahun lebih itu
sebelumnya memang berkembang pesat, dan baru saja saya mengambil proyek-proyek
baru yang cukup besar, saya kena hantam. Dua proyek dihentikan sepihak
oleh customer karena persoalan internal mereka. Padahal, investasi yang saya
tanam untuk proyek itu sangat besar.
Usaha alat-alat berat bali muda
Usaha Alat-Alat Berat Bali Muda
Situasi bisa sangat berbahaya, karena dana investasi saya berasal dari kredit
bank yang baru beberapa bulan berjalan. Keruwetan bertambah ketika salah
satu customer besar saya tak bisa membayar tagihan yang sangat besar.
Satu persatu anak buah berpaling. Saya bukan lagi atasan dan teman yang
menguntungkan bagi mereka. Tak ada yang ingin kena getahnya. Beban finansial
yang berat ini diperkeruh oleh debt collector yang terus berdatangan menagih
utang. Itulah titik terberat dalam hidup saya. Saat itu, teguran dari Allah terasa
begitu nyata.

Beberapa saat sebelumnya, istri saya sempat mengeluh bahwa saat bisnis maju,
saya berubah menjadi orang lain. Saya bahkan menjadi orang asing, yang tidak
dia kenal sebelumnya. Sebagai suami dan ayah, saya kehilangan kelembutan,
empati, bahkan nyaris kehilangan kepemimpinan yang sesungguhnya.

Perubahan itu terjadi di masa-masa awal bisnis berjalan. Saya jadi kurang peka,
dan kurang peduli terhadap keluarga dan karyawan.
Bisnis yang saya gadang sebagai mesin pencetak uang justru jadi mesin
pencetak masalah, yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Karyawan tak
jujur, serangan tagihan tanpa kendali, penghasilan yang tidak pasti, dan keluarga
yang terlupakan.

"Tidak ada gunanya berlari jika salah arah, tak ada gunanya kerja keras jika
tanpa tujuan."

Saat itu, saya tak pernah tidur nyenyak, apalagi bangun segar di pagi hari. Tiada
hari tanpa deg-degan dan perasaan gamang. Tenaga selalu habis terkuras, lelah
sekali. Ingin rasanya meninggalkan semua urusan, dan melepaskan diri dari
keadaan seperti ini.

Pahitnya, melepaskan diri dari lilitan masalah ini tidak mudah. Sebaliknya, saya
terperosok ke masalah demi masalah baru. Semakin dalam, semakin tidak jelas
ujungnya. Sempat saya pertanyakan, mungkinkah Allah hendak mengajarkan
sesuatu? Selama ini saya begitu percaya diri dengan apa yang saya lakukan.
Tapi hantaman ini membuat saya terjungkal ke titik yang tak menyisakan tempat
untuk kepandaian saya. Tak ada lagi yang bisa saya banggakan dalam diri saya.
Benar-benar nol. Saya perlu waktu untuk merenung. Semoga belum terlambat.

Melalui perenungan dan instrospeksi, saya menyimpulkan bahwa ternyata
persoalan yang saya hadapi bukanlah di luar sana. Problem saya bukan tumpukan
utang, bukan customer, bukan karyawan, bukan yang lain-lain. Sumber masalah
yang sesungguhnya adalah diri saya sendiri. Ada banyak hal yang harus saya
definisikan ulang. Ini terjadi 4 tahun sejak saya membangun pertama kali bisnis
alat-alat berat.

Beberapa pandangan saya selama ini ternyata salah, dan menjadi penyebab
utama kegagalan yang saya alami. Jelas bahwa saya wajib membangun
kembali konsep diri, mentalitas, perilaku, kepemimpinan, keyakinan, kesabaran,
keterampilan, dan yang paling penting adalah ketaatan saya kepada Allah swt.

Hubungan saya dengan Allah swt harus saya perbaiki. Siapa tahu, banyak
perbuatan saya—sadar atau tanpa sadar—ternyata tidak diridhoi Allah.
Saya harus memperbaiki hubungan dengan keluarga yang selama ini banyak
saya abaikan. Jangan-jangan mereka tidak sepenuhnya ridho dengan apa yang
saya lakukan selama ini. Saya juga harus memperbaiki kepemimpinan saya.
Mungkin karyawan saya tidak bisa bekerja sesuai harapan bukan karena mereka
tidak berkualitas, namun karena kepemimpinan saya buruk.
Saya memutuskan untuk berubah total, bangkit dan membangun diri saya
yang baru. Perlahan namun pasti, saya semakin memahami bahwa biang kerok
kegagalan itu benar-benar diri saya sendiri. Seiring dengan kesadaran saya,
sesuatu yang luar biasa mulai tumbuh dan mengakar kuat: keyakinan.

Saya yakin bahwa perubahan itu akan segera terjadi, karena yang harus saya
ubah bukan orang lain. Mengubah orang lain mungkin sulit, jika saya tak punya
kuasa atas dirinya. Jadi, mengubah diri sendiri seharusnya lebih mudah, karena
sedikit banyak saya berkuasa atas diri saya.

Saya mengubah diri dan cara hidup secara radikal dengan bertanya kepada diri
saya sendiri :
• Apa yang harus saya ubah, untuk menggapai keredhoan Allah SWT?
• Apa yang harus saya ubah, agar keluarga saya bangga kepada saya?
• Apa yang harus saya ubah, agar tim saya bangga kepada saya?

Dulu, saya seperti pemain bola yang mencurahkan seluruh energi untuk
menjawab pertanyaan secara brutal “Bagaimana caranya menang? How to win?
How to win?” Nyaris tidak ada pertanyaan lain. Dalam desakan ambisi seperti
itu, tanpa terasa, banyak hal yang saya langgar saat mengejar target. Kini,
saya menemukan sebuah pertanyaan yang jauh lebih pas untuk saya sendiri,
“Bagaimana saya harus bermain dalam paruh kedua kehidupan saya ini?”.

Saya mulai mencari jawaban, dan menghidupkannya setapak demi setapak. Berat
memang, karena ternyata berhadapan dengan ego sendiri adalah perjuangan
yang maha berat. Namun demikian, di luar dugaan, teman, karyawan, dan
keluarga menyatakan terharu melihat perubahan dalam diri saya. Kian saya
sadari, ternyata banyak orang yang menunggu saya berubah.

As for those that have faith and do good works, God will bestow on them
their rewards and enrich them from his own abundance.
(Alquran, Annisa, 4:173).

Saya merasa lahir kembali. Perubahan itu memang tidak serta merta mengikis
habis kesulitan yang saya hadapi. Tapi kini saya memandang kesulitan itu
dengan cara yang jauh berbeda.

Dua tahun sejak kejatuhan yang pertama itu, saya berada pada titik yang sangat
kritis. Ketika itu, di Jambi, di hadapan 50 anggota tim senior yang terdiri dari
direksi, general manager, manager, dan supervisor perusahaan saya, terlontarlah
kalimat yang tak pernah saya lupakan hingga hari ini.
“Saudara-saudara sekalian. For me, today is the most interesting phase in my life.
Hari ini adalah sebuah fase hidup yang paling menarik bagi saya, karena saya
tidak pernah mengalami kesulitan seperti ini sepanjang hidup saya.”

Heppy trenggono
Tim Bali Muda: Mengurai Benang Kusut
Dalam hati saya berbisik “Ya Allah, aku ingin segera melihat seperti apa akhir
dari cerita ini, sebagaimana Engkau janjikan kepada orang-orang yang mau
bertaqwa kepadaMu”.

Tiga minggu setelah pertemuan di Jambi, perusahaan berhenti total. PHK besar-besaran
membuat ribuan orang yang selama ini menggantungkan nasibnya ke
perusahaan saya harus menghadapi kenyataan pahit. Beberapa karyawan yang
panik mengambil barang milik perusahaan, bank-bank pemberi kredit kaget
setengah mati. Bagaimana tidak? Kucuran dana yang tidak sedikit ke perusahaan
saya terancam macet. Urusan dengan para supplier terbengkalai, sebagian
belum menyadari gawatnya situasi yang mereka hadapi. Aset perusahaan
tercerai berai. Saya benar-benar roboh.

Di saat genting seperti ini, beberapa teman menyatakan simpati. Mereka
menyatakan hendak membantu menyelamatkan aset perusahaan, termasuk
mengajukan tawaran sewa. Belakangan baru saya tahu bahwa beberapa justru
memanfaatkan keadaan ini dan mengkhianati persahabatan kami.

Puncak kejatuhan saya menyisakan Rp. 62 milyar utang kepada bank, leasing,
supplier, bahkan rentenir! Uang tunai sebesar 8 milyar milik istri saya, yang dia
kumpulkan bertahun-tahun dengan susah payah ikut ludes.

Dalam keadaan terpuruk seperti itu, tak ada bayangan sama sekali bagaimana
saya akan membayar semua utang. Tak ada penghasilan sama sekali, apalagi
tabungan. Uang perusahaan yang ada di luar, termasuk yang dipinjam teman
tidak bisa ditarik begitu saja. Ajaib. Saat perusahaan lancar, piutang bisa ditagih
dengan mudah. Sebaliknya, ketika piutang itu jadi andalan penyambung hidup,
semua pintu seolah tertutup.

Seorang teman baik yang pernah membangun bisnis dengan bantuan 1,4 milyar
dari saya, dan berutang beberapa ratus juta justru balik mengancam. Dia akan
membunuh saya dengan dalih tidak suka jika saya menagih utang kepadanya.
Itulah ironi pahit yang harus saya telan.

Dalam keadaan segalau itu, Allah mengajarkan kata “sabar” yang selama ini jauh
dari diri saya. Dengan yakin saya katakan kepadanya “Mas, uang yang Anda
ambil tidak akan membuat saya tambah miskin, tetapi juga tidak akan membuat
Anda tambah kaya. Silakan ambil uangnya, saya yang ambil keberkahannya”.

Pengkhianatan dari sahabat dekat bukan apa-apa. Begitu pula utang 62 miliar.
Saya yakin sepenuhnya bahwa semua akan teratasi. Saya sangat percaya karena
Allah telah menjanjikan jalan kebaikan melalui firman-Nya. Saat punya utang 62
miliar, saya yakin Allah telah menyiapkan kekayaan yang jauh lebih besar dari
angka itu. Saya percaya, penyelesaian akan terjadi atas campur tangan Allah
yang melihat kesungguhan dan keikhlasan dari hamba-Nya.

Persoalan berat yang saya alami tidak mungkin saya selesaikan dengan pola
pikir lama. Ini berlaku bagi siapapun. Kita tidak akan bisa menyelesaikan
masalah dengan pola pikir yang kita miliki saat masalah itu terjadi. Kita hanya
bisa menyelesaikan masalah dengan cara berpikir yang lebih tinggi dari yang
selama ini kita lakukan. Artinya, ubah cara berpikir ke tingkat yang lebih tinggi!
Setinggi apa?

Saya mulai terjun di bisnis rumah makan tahun 1999. Saat itu, saya baru
saja bangkrut dari bisnis beras, yang saya warisi dari orangtua. Bisnis yang
sudah besar dan sukses itu hancur di tangan saya. Bayangkan, usaha saya
di Garut memiliki jaringan hingga di Cipinang, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Selain jaringan di sejumlah gerai dan beberapa perumahan, saya juga
punya pabrik penggilingan padi seluas dua atau tiga ribu meter persegi.
Sejumlah truk dan empat puluh karyawan setiap hari beroperasi untuk
setor uang.
Kemudian saya salah langkah. Utang saya menumpuk, dan banyak orang
datang menagih pembayaran. Saya stress berat, harta habis dipakai untuk
menutupi tagihan dan utang. Yang tersisa hanya tinggal baju di badan.

Masa itu memang pahit, tapi saya tidak menyerah. Saya memperbaiki diri
dan kembali bangkit. Saya melihat ada peluang di bidang rumah makan
khas Sunda. Dengan berkaca pada pengalaman pahit yang sudah saya
alami, kini Rumah Makan Cibiuk kian maju. Jaringannya kian meluas
hingga 41 lokasi di berbagai kota di Jawa Barat bahkan luar jawa.

Saya pernah gagal dan mengecewakan banyak orang karena kesalahan
yang saya lakukan sendiri. Sayalah yang harus memperbaikinya.

~ H. Iyus Ruslan, owner RM Sambal Cibiuk, Dewan Pembina Indonesian
Islamic Business Forum (IIBF) Jawa Barat ~

(Sumber : “Dari Garut, Sambal Cibiuk Meliuk sampai ke Aceh, Yuyun
Manopol, Majalah Swa)

Banyak orang berpendapat bahwa agar kapal bisa berlayar, maka jangkar harus
diangkat seluruhnya ke buritan. Pandangan itu bisa jadi benar, tapi tidak tepat.

Untuk membuat kapal bisa berlayar, jangkar cukup diangkat beberapa sentimeter
saja dari dasar laut. Selama jangkar tidak menyangkut dasar samudra, kapal
sudah bisa digerakkan. Jadi, untuk menyelesaikan masalah, kita hanya perlu
memiliki cara berpikir sedikit lebih tinggi.

Sering kita saksikan, ketika seseorang tertimpa masalah seolah-olah hidup
menjadi gelap sama sekali, dan tak ada lagi jalan keluar. Rentetan keluhan
menunjukkan nyali yang ciut, karena orang yang mengatakannya merasa lebih
kecil dari masalah yang dihadapi. Dia lupa satu hal: masalah timbul karena
ulahnya sendiri, jadi semestinya dia juga bisa menyelesaikan.

Ingatlah. Ketika Anda merasa lebih kecil, otomatis masalah itu akan terasa
semakin besar. Padahal, masalah yang Anda hadapi ya yang itu-itu juga. Mudah
atau sulitnya, dan lama atau cepatnya Anda memecahkan masalah tidak
tergantung pada seberapa besar atau kecilnya masalah yang Anda hadapi. Yang
menentukan adalah bagaimana Anda melihat masalah, dan bagaimana Anda
menempatkan diri terhadap masalah itu.

Memiliki kehidupan yang kaya atau miskin adalah sebuah mentalitas, Orang
dengan mentalitas kaya seharusnya meyakini bahwa Allah tidak mungkin
mendatangkan sesuatu yang kita tidak mampu memikulnya, meyakini bahwa
kita masih lebih besar dari masalah yang kita hadapi.

Suatu hari saya bertemu dengan seorang teman utangnya sangat besar, jauh lebih besar dari utang saya waktu itu. Tapi dia tetap enjoy dengan keadaannya. Artinya, utang tidak membuat
dirinya kehilangan jati diri. Lilitan utang itu dia hadapi dengan mentalitas kaya.
Itulah yang disebut kapasitas diri.

Di kesempatan lain, saya mendengar cerita tentang seorang direktur utama
perusahaan penerbangan di tanah air yang baru menjabat. Suatu saat, dia
berhadapan dengan bank asing yang marah besar ketika proses negosiasi
pembayaran utang perusahaan bermasalah. Sang direktur utama dengan
enteng berkata kepada pejabat bank itu, “Lho, Saya ke sini untuk menyelesaikan
masalah Anda! Kalau Anda tidak suka, saya akan pergi!”

Itulah pola pikir orang yang memiliki kapasitas diri. Pihak bank tidak akan
semena-mena kepadanya, dan justru memperlakukan orang sebagaimana
mestinya. Bank berkepentingan dengan kembalinya uang. Jika orang yang
berutang tidak kooperatif, maka kredit bisa dipastikan macet.

Memperbesar wadah, adalah memperbesar kapasitas diri kita sendiri. Problem
itu berada di depan kita. Itu faktanya. Untuk bisa bergerak menghadapi
kenyataan itu, kita harus merasa lebih besar dari masalah. Jika tidak, maka kita
tidak memiliki energi yang cukup untuk menyelesaikannya. Setiap langkah akan
serba canggung bahkan sangat berat.

Sejatinya, saat dihadapkan pada suatu masalah, yang kita perlukan adalah
power atau kemampuan untuk bergerak, bukan melulu kemampuan untuk
menyelesaikan masalah. Power itu akan muncul jika kita yakin bahwa kita lebih
besar dari tantangan apapun. Keyakinan itulah yang harus kita bangun. Semakin
kokoh keyakinan kita, maka kemampuan kita untuk bergerak akan semakin kuat.

Setelah jatuh karena kisruh dengan pandangan yang salah, kini yakin bahwa
saya lebih besar dari masalah yang saya hadapi. Keyakinan itu bersumber pada
janji Allah swt, bahwa Dia tidak akan membebani seseorang kecuali sesuai
kemampuannya. Jadi saya yakin saya bisa melewatinya.

Dengan rendah hati saya genggam erat motto sederhana, terinspirasi dari sabda
Rasulullah saw “Hidup mulia atau mati syahid”. Saya ingin memiliki kehidupan
yang mulia, atau paling tidak jika saya mati maka saya mati dalam keadaan
memperjuangkan kemuliaan. Itulah komitmen saya, dan menjadikannya sebagai
sesuatu yang unegotiable. Tak bisa ditawar. Komitmen itu meneguhkan sebuah
nilai, yakni bentuk keimanan kepada Sang Khaliq. Saya percaya sepenuhnya apa
yang dikatakan oleh Allah.

Selama 33 tahun terakhir, aku selalu bercermin setiap pagi
dan bertanya, “Jika hari ini adalah hari terakhirku, apakah aku akan
melakukan perbuatan yang saat ini kulakukan?” Dan jika dalam beberapa
hari berturut-turut jawabannya adalah “tidak,” maka aku harus berubah.
Mengingat bahwa suatu hari aku pasti mati adalah caraku melepaskan
diri dari ketakutan akan kehilangan. Saat itu aku sudah tak punya apa-apa. 
Jadi, tak ada alasan untuk tidak mengikuti kata hatiku.
~ Steve Jobs ~

Apa yang digariskan oleh Tuhan bagi manusia tentu yang terbaik. Namun
seringkali kita sulit sekali memahaminya. Mengapa kita tidak mendapatkan apa
yang kita inginkan?

Hidup jadi semakin tidak menentu karena kita salah dalam berkomunikasi.
Apa yang kita katakan kepada diri sendiri maupun kepada orang lain berbeda
dengan yang kita inginkan. Kita ingin sukses, tetapi yang kita katakan adalah,
“Sepertinya saya tak mungkin meraihnya”. Kita ingin anak kita pintar dan sholeh,
tetapi ucapan yang sering kita lontarkan kepadanya adalah “kamu kok nakal
sih!”.

Jadi, apapun yang sungguh-sungguh kita inginkan harus dikomunikasikan
dengan benar. Apa impian kita, ingin jadi apa kita dalam hidup ini, apa yang ingin
kita lakukan sebelum mati, apa yang ingin kita miliki sebelum mati, hanya akan
terwujud jika terjadi Total Communication atau komunikasi total.

Komunikasi total adalah sebuah cara untuk mengawali proses memperbesar wadah.
Dengan komunikasi total kita mempersiapkan diri untuk menampung semua
keinginan itu, dan pada saatnya tercapai, kita tak akan salah mengelolanya.
Komunikasi total artinya bagaimana kita berkomunikasi kepada diri kita sendiri,
berkomunikasi kepada Allah, dan berkomunikasi kepada orang lain. Jika kita
bisa berkomunikasi total dengan baik, maka kita akan lebih siap meraih semua
mimpi, menyelesaikan berbagai masalah, dan melewati berbagai tantangan.

Komunikasi dengan diri sendiri atau Self communication, merupakan proses
komunikasi yang sangat fundamental. Jika kita salah berkomunikasi dengan
diri sendiri maka seluruh komunikasi kita kepada Allah dan kepada orang lain
akan salah. “Berbicaralah sesuatu yang baik, meskipun kepada dirimu sendiri”
itulah pesan Rasulullah yang ditulis pada sebilah pedang milik beliau. Self
communication mensyaratkan kita melakukan critical thinking, berfikir secara
kritis dan mendalam, atau bertafakur. Self communication bertujuan untuk
membangkitkan kesadaran tentang siapa diri kita, mau kemana sebenarnya
diri kita ini, siapa yang sesungguhnya berkuasa, dan apa yang seharusnya kita
lakukan.

Jadi, mengenali diri sendiri adalah awal dari semuanya. Kita perlu membongkar
secara radikal, apa yang kita ketahui dan tidak kita ketahui tentang diri sendiri.
Apa yang kita harapkan dan apa yang sesungguhnya kita takutkan, apa hal utama
yang kita kejar dalam hidup ini, dan apa yang pernah kita lakukan selama
ini. Perbuatan di masa lalu dan apa yang kita inginkan untuk masa depan juga
menunjukkan siapa diri kita.

Seseorang yang melakukan self communication akan memiliki keyakinan yang luar biasa,
haqqul yakin atas semua yang dijanjikan Allah. Dan hanya kita sendiri
yang bisa menjawab, apakah kita telah berhasil melakukannya, atau masih harus
kembali merenung untuk mengenal diri sendiri.

Communication to Allah, komunikasi dengan Allah swt. Inilah “dialog”
antara diri kita dengan Sang Khaliq. Dialog inilah yang menentukan intensitas
kedekatan kita dengan Allah. Kita sering menyebutnya dengan berdoa. Kali
ini, doa yang saya maksud adalah doa dengan konsep dialog, yang bertujuan
memberikan ruh dalam proses berdoa itu sendiri. Harapannya, kita bisa
membangkitkan kedekatan dan cinta kepada Allah swt.

Selesai shalat, berdzikir, dan membaca doa-doa rutin, bicaralah kepada Allah
dengan kerendahan hati.

“Wahai Allah yang maha pengasih dan penyayang, inilah hambamu ya Allah,
Heppy Trenggono bin Kodiri. Seorang hamba yang engkau lahirkan melalui rahim
seorang Ibu yang bernama Siti Amariyah. Malam hari ini hamba menghadap
kehadiratmu ya Allah. Malam hari ini hamba kembali datang untuk memohon
ampunanMu, kembali datang untuk menyerahkan diri kepadaMu. Ya Allah,
Engkau maha mengetahui apa yang ada dalam dada hamba. Tak ada yang
hamba harapkan kecuali keridoanMu. Ya Allah, inilah hambaMu yang pada saat itu 
berikrar di depan multazam, .........”

Dialog dengan Allah semacam itu akan melembutkan hati, sekaligus
menajamkannya. Yakinlah bahwa Allah akan menjawab dengan bahasaNya; dan
dengan hati yang bersih, kita akan bisa merasakannya. Seseorang yang banyak
berdialog dengan Allah akan hidup hatinya. Hidupnya hati juga ditandai empati
kita ketika melihat kesulitan orang lain. Orang yang hidup hatinya mudah
menangis saat melihat orang lain dalam kesulitan, namun tidak serta merta
menangis ketika dirinya ditimpa kesulitan. Sebaliknya, orang yang mati hatinya
selalu mengeluh dan menangis ketika tertimpa kesulitan, tetapi tak peduli saat
melihat kesulitan orang lain.

“Allah turun ke langit dunia setiap malam pada sepertiga malam terakhir.
Allah lalu berfirman: Siapa yang berdoa kepada-Ku niscaya Aku kabulkan.
Siapa yang meminta kepada-Ku niscaya Aku beri. Siapa yang meminta
ampun kepada-Ku tentu Aku ampuni.”~ HR Bukhari dan Muslim ~

Communication to others, komunikasi dengan orang lain. Sebagai jembatan
keberhasilan, meningkatkan ketrampilan berkomunikasi dengan orang lain
adalah kemestian. Melalui komunikasi efektif dengan orang lain, maka perkataan
kita akan didengar dan diikuti. Namun demikian, komunikasi kepada orang lain
tidak akan efektif selama komunikasi kita terhadap diri sendiri masih salah.
Keterampilan komunikasi dengan orang lain harus kita miliki, karena manusia
tidak bisa hidup seorang diri. Allah memberikan pertolongan kepada kita tidak
secara langsung, dalam banyak hal melalui perantara orang lain.
" Total Communication", Keahlian yang harus dimiliki setiap orang

Prinsipnya, mengenali diri merupakan prasyarat untuk mengenali Tuhan. Dan
semakin kita mengenal Tuhan, maka kita akan semakin merasa kecil di hadapan-
Nya. Ketergantungan kita kepada manusia akan terkikis, seiring kian kokohnya
hubungan kita dengan Allah. Dengan keyakinan bahwa Allah selalu bersama
kita, maka setiap langkah akan kita ambil dengan percaya diri. Di saat yang
sama, komunikasi dengan orang lain juga akan efektif.

Dari beberapa langkah perbaikan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa
untuk menyelesaikan masalah, memecahkan tantangan, atau mencapai impian
kita, yang dibutuhkan hanya dua hal: kemauan berpikir dan kemampuan
bergerak. Artinya, kecerdasan sesungguhnya adalah seberapa besar kemauan
kita untuk berfikir, dan seberapa besar kemampuan kita untuk bergerak.
Ternyata, kesuksesan seseorang tidak melulu diukur dengan kemampuannya
berpikir, atau tinggi rendahnya intelegensia seseorang.

Saat masalah datang bertubi-tubi, kita sering berharap semua selesai pada
waktunya. Sayangnya, kita malas memikirkan tiga hal ini :

• Mengapa masalah itu masih ada
• Apa yang harus kita perbaiki
• Seperti apa keadaaan yang benar-benar kita inginkan

Kita sudah merasa puas jika sebuah masalah teratasi. Jika bersikap seperti itu,
artinya tak punya kemauan untuk berpikir.

Selain itu, saat berkubang dengan masalah, kita juga sering merasa mati langkah.
Demikian besar hasrat kita untuk segera keluar dari sana, tapi justru membuat kita
kehilangan energi untuk bergerak. Seperti orang yang terjerembab ke pusaran
pasir hidup. Semakin kuat kita meronta, semakin dalam kita terperosok. Yang
kita rasakan adalah kelelahan luar biasa, dan langkah kita serba terbelenggu
oleh banyak hal ruwet. Kita jadi tak punya kemampuan untuk bergerak.

Padahal, dengan kemauan untuk terus berpikir, maka berbagai kemungkinan
akan terbuka. Kemampuan bergerak adalah kegigihan kita memotivasi diri
dan fokus pada peluang. Tidak ada usaha yang sia-sia. Yakinlah bahwa jika kita
bersungguh-sungguh, maka Allah akan mengatur yang terbaik.

Sebagaimana jangkar kapal yang hanya perlu diangkat satu inchi untuk
membuatnya berlayar, hakikat berpikir yang bisa menyelesaikan masalah adalah
cara berpikir yang sedikit lebih tinggi dari masalah tersebut.
Saya bangkrut dengan utang 62 milyar, tanpa penghasilan sepeserpun. Jika saya berpikir bahwa
62 milyar adalah angka yang sangat besar, maka saya akan sulit bergerak—
padahal faktanya angka itu memang sangat besar. Utang orang tua saya paling
banyak empat ratus ribu rupiah.

Dengan tekad menjadi lebih besar dari masalah yang ada, saya memilih untuk
berpikir bahwa 62 milyar memang pantas untuk saya. Allah menyiapkan saya
untuk menangani masalah yang besar, dan saya yakin akan memiliki uang yang
jauh lebih besar daripada sekedar 62 milyar itu.

Banyak orang yang tergesa-gesa menyelesaikan masalah yang menimpanya
dengan cara dan perilaku yang sama yang membuat dia jatuh. Bagai mengobati
luka dengan salep yang sudah kadaluwarsa. Saat masalah melilit, kita sering
menyesali bahkan mengutuk masalah itu. Banyak sekali masalah yang kita lihat.
Padahal, bisa saja yang kita lihat itu hanyalah tanda-tanda masalah, karena
masalah yang sebenarnya adalah diri kita sendiri.

Cara tercepat memperbaiki masalah adalah dengan memperbaiki diri.

Selain cara pandang, definisi masalah juga perlu dirumuskan ulang. Menurut
saya, tidak kaya adalah masalah jika membuat kita tidak leluasa bergerak, tidak
bisa melakukan kebaikan yang kita inginkan, atau tidak bisa memberikan yang
terbaik kepada keluarga, masyarakat, agama, dan bangsa. Apalagi jika tidak
kaya itu berarti miskin. Karena miskin itu mutlak sebuah masalah. Kita akan
membahasnya lebih lanjut di bagian berikutnya.

Dalam sebuah pertemuan, seseorang pernah bertanya kepada saya “Mana yang
Bapak pilih, jadi orang kaya atau jadi orang mulia?”
“Saya memilih keduanya. Jadi orang kaya sekaligus mulia,” jawab saya.
“Jika kita harus memilih salah satu, bagaimana, Pak?” lanjutnya.
“Siapa yang mengharuskan memilih salah satu. Apakah Allah membatasi kita
dengan satu pilihan untuk kaya saja atau mulia saja?” jawab saya.

Menurut saya, itu pertanyaan (maaf) bodoh. Makna yang tersirat dari pertanyaan
itu adalah jika kita memilih jadi orang kaya, maka kita tidak bisa jadi orang mulia.
Sebaliknya, jika kita memilih jadi orang mulia, maka kita tidak bisa hidup kaya.
Masih banyak di antara kita yang gemar berpikir dikotomis. Berbicara tentang
ketaqwaan kepada Allah swt sering diartikan sebagai sikap meninggalkan dunia.
Orang yang berusaha membangun kekayaan serta merta dianggap tidak
bertakwa. Sementara saya sendiri percaya bahwa orang yang hanya mengejar
materi dan mengabaikan spiritualitas akan kehilangan kesempatan untuk
mengenal Tuhannya. Sebaliknya, orang yang hanya mendalami spiritualitas tetapi
mengabaikan materi akan kehilangan banyak kesempatan untuk bertanggung
jawab kepada keluarga dan masyarakat.

Jadi, hak kita adalah untuk memiliki kedua-duanya: kaya dan mulia. Rasulullah
pun kaya dan mulia. Beliau bersedekah seperti angin. Artinya, sedekah beliau
tak pernah berhenti. Mungkinkah bisa bersedekah jika beliau miskin? Beliau
pasti kaya. Di saat yang sama, Rasulullah adalah manusia utama, manusia yang
paling mulia. Jika Allah memerintahkan manusia untuk menjadikannya uswatun
hasanah, teladan yang baik, maka hidup mulia dan kaya adalah hak kita.

Abdurrahman bin Auf, Abu Bakar Asshidiq, Ustman bin Affan, dan Umar bin
Khattab adalah orang-orang kaya. Mereka juga manusia mulia. Mentalitas
dan pola pikir orang kaya adalah ingin menjadi orang kaya sekaligus mulia.
Sebaliknya, mentalitas orang miskin menganggap bahwa kaya dan mulia
adalah dua arah yang berbeda. Jika memilih kaya maka tidak bisa hidup mulia
begitupun sebaliknya.

Padahal, Islam mendudukkan kemiskinan dengan posisi yang jelas. Dalam situasi
tertentu, kemiskinan wajib disantuni. Tapi di saat yang sama, Islam juga mencela
kemiskinan dan dinyatakan dekat dengan kekafiran. Allah juga memerintah agar
umat manusia bekerja keras mencari karunia-Nya. Perintah Allah itu berlaku
bagi semua manusia. Lantas, mengapa kualitas kehidupan seseorang berbeda
satu sama lain? Coba kita simak kisah dua orang teman saya.

Amir dan Umar lulusan dari kelas dan universitas yang sama. Dosen mereka
yang sama, buku-buku sama, menghabiskan waktu yang sama, bahkan tinggal
di tempat kos yang sama. Namun setelah sembilan belas tahun berselang,
hanya Amir dan dua temannya yang hidup dengan kekayaan berlimpah. Umar
dan teman sekelas yang lain hidup biasa-biasa saja, beberapa di antara mereka
bahkan hidup susah.

Mari kita amati, apa yang membuat Amir, Umar, dan teman-temannya memiliki
kualitas kehidupan yang berbeda. Ternyata, yang menentukan kualitas hidup
mereka bukan melulu tingkat pendidikan, melainkan perilaku masing-masing.
Terlihat jelas bahwa yang memiliki perilaku berkualitas unggul akan memiliki
kualitas kehidupan yang jauh lebih baik daripada yang lain.

Pertanyaan berikutnya adalah, mengapa perilaku seseorang berbeda satu
dengan yang lain? Bagaimana agar kita memiliki perilaku yang berkualitas?

Perilaku adalah sesuatu yang bisa kita lihat. Kita bisa melihat bagaimana orang
berjalan, makan, marah, atau tidur sekalipun. Ternyata, ada sesuatu yang tidak
kita lihat, yang menentukan perilakunya. Itulah yang kita sebut sebagai wadah
atau konteks. Wadah inilah yang menentukan perilaku, perilaku menentukan isi
atau kualitas hidup seseorang, termasuk di dalamnya apakah dia akan menjadi
orang kaya atau miskin.
“Gelas dan Ember” manakah yang memiliki kapasitas menampung air lebih banyak?
Wadah untuk air misalnya. Jika yang kita miliki adalah gelas, maka maksimal air
yang bisa kita tampung adalah sebanyak satu gelas. Jika kita memiliki ember,
maka air yang bisa kita tampung adalah satu ember. Gelas dan ember adalah
wadah, sedangkan air adalah isi. Wadah melambangkan kapasitas kita. Tanpa
memperbesar wadah, kita tidak bisa memiliki isi yang lebih banyak. Wadah dan
isi berlaku dalam semua aspek kehidupan: karir, kekayaan, kesuksesan, keluarga
yang bahagia, maupun ketaatan kita kepada Allah swt. Wadah memberi tahu kita
tentang besarnya kapasitas, wadah menunjukkan karakter seseorang, karakter
unggul adalah wadah besar.

Allah hanya menunggu apa yang benar-benar kita inginkan.

Nah, ada tiga hal yang menentukan besar kecilnya kapasitas seseorang.

Pertama, seberapa sadar kita tentang jati diri kita sendiri. Bagaimana
kita melihat diri kita sendiri? Bagaimana kita memberikan identitas pada diri
kita? Sebagai orang sukses atau orang gagal? Orang kaya atau orang miskin?
Seberapa sadar kita tentang jati diri kita akan terlihat dalam bentuk karakter kita.

Seseorang yang sadar sepenuhnya tentang jati dirinya sebagai pemuka agama,
maka segala tindak tanduknya menunjukkan karakter pemuka agama yang bisa
diteladani. Demikian pula mereka yang menyadari jati dirinya sebagai pemimpin,
dia akan memiliki karakter sebagai pemimpin yang baik.

Ya, kesadaran tentang jati diri itu yang perlu kita pastikan, karena kaya atau
miskin bukanlah suatu keadaan, tetapi mentalitas. Kaya atau miskin itu karakter.
Identitas apa yang Anda pilih untuk diri Anda sendiri? Orang sukses, gagal,
beriman, pemimpin, atau apa? Atau... jangan-jangan kita tidak pernah menyadari
jati diri kita sendiri?

Seseorang yang tidak menyadari jati dirinya tak akan jadi siapa-siapa. Jika dia
tak sadar dengan jati dirinya sebagai suami, maka dia tak akan tahu bagaimana
bersikap sebagai suami, dan cenderung memiliki rumah tangga yang runyam.
Orang yang tak menyadari jati dirinya sebagai orang kaya akan berperilaku
seperti orang miskin: meminta-minta, pelit, atau bahkan boros. Ingat, nyaris
semua pengeluaran orang miskin adalah untuk konsumsi. Perilakunya itu
mengantarkan dirinya menjadi orang miskin.

Kedua, apa yang sungguh-sungguh kita yakini. Keyakinan seperti apa yang
kita miliki. Apakah kita meyakini bahwa kualitas hidup ini hanya urusan takdir,
atau ada hal lain bernama usaha. Apakah kita yakin bisa meraih sesuatu, atau
merasa tidak mungkin. Apakah kita yakin hanya bisa sukses dengan riba atau
justru yakin bahwa riba yang akan menghancurkan kita.
Apa yang diyakini oleh seseorang akan muncul sebagai pembentuk karakternya.
Orang yang begitu yakin tentang hebatnya sedekah akan memiliki karakter yang
sangat berbeda dengan orang yang tidak meyakini sedekah. Semua keyakinan
akan menentukan karakter dan perilaku kita. Keyakinan merupakan factor kunci
dalam membangun kekayaan.

Bisnis yang hanya menghasilkan uang adalah jenis bisnis yang menyedihkan.
~ Henry Ford ~

Ketiga, apa nilai-nilai yang kita bela. Keputusan seseorang mencerminkan
nilai yang dibelanya. Dulu bangsa Indonesia terlepas dari penjajahan yang telah
beratus tahun dialami karena menemukan nilai yang dibela, yaitu kata “merdeka”.
Saat memaknai kata “merdeka,” bangsa Indonesia bisa dengan lantang berkata
“merdeka atau mati.” Artinya, lebih baik mati daripada tidak merdeka. Sekarang,
tanyakan kepada diri kita, apa nilai yang kita bela? Gaya hidup atau membangun
kekayaan? Kejujuran atau uang? Kepentingan diri sendiri atau kepentingan
agama? Uang cepat atau keberkahan? Apa yang kita bela menentukan apa
yang kita putuskan, menentukan karakter kita, menentukan kualitas hidup kita.
Jati diri, keyakinan, dan nilai menentukan kapasitas seseorang, dan menentukan
karakternya. Kapasitas inilah yang akan menentukan seperti apa kualitas
hidupnya. Kapasitas adalah wadah, dan wadah akan menentukan isi.

Saat Rasulullah saw membangun agama, yang dibangun adalah akhlak, karakter,
dan mentalitas ummat. Rasulullah membangun wadah yang hebat!
Wadah adalah diri kita. Kekayaan akan mengalir kepada siapa saja yang
berpikir, berperilaku, berkeyakinan, dan bertindak sebagaimana orang kaya.
Serumit apapun masalah yang kita hadapi, setinggi apapun impian yang kita
miliki, pastikan kita memiliki wadah yang cukup untuk itu, karena Allah hanya
menunggu apa yang benar-benar kita inginkan.

Baca Juga :