Sunday, July 2, 2017

Strategi Membangun Kekakayan Tanpa Riba part8

PERTANYAAN 8
BAGAIMANA CARA ANDA MENYIKAPI RESIKO?

Coba Anda ingat kembali. Sepanjang hidup, berapa kali Anda mengambil
keputusan yang beresiko? Apa yang kemudian terjadi? Sejauh mana resiko itu
mempengaruhi kehidupan Anda? Pertanyaan kita yang ke delapan berkaitan
dengan keberanian mengambil resiko. Anda tentu bisa membedakan antara
perbuatan konyol dengan keberanian mengambil resiko. Tindakan konyol
selalu didorong oleh nafsu dan emosi, sehingga pelakunya tak peduli dengan
pertimbangan apapun. Orang yang menyambar semua peluang bisnis tanpa
mengukur kemampuan diri bukanlah orang yang berani. Dia bertindak konyol,
dan sedang mempertaruhkan reputasinya sendiri.

Lain halnya dengan orang yang berani mengambil risiko. Sebelum mengambil
langkah, dia akan mempersiapkan diri sebaik mungkin. Dia akan berlatih
menajamkan intuisinya, juga melakukan improvisasi, sejauh dia bisa
mengendalikan situasinya. Ketika seseorang banyak berlatih dan berimprovisasi,
maka lahirlah keterampilan dan sense yang tajam dalam berbisnis.

Mengambil resiko adalah bagian integral dari bisnis maupun kehidupan. Resiko
adalah bagian dari hidup. Lantas, mengapa kata “resiko” lebih sering berkonotasi
negatif, bahaya, kerugian, bahkan ancaman kegagalan? Alasannya sederhana:
hanya sedikit orang yang bisa mengelola resiko dengan cara yang benar. Orang
cenderung melihat aspek negatif dari resiko. Mereka lupa bahwa resiko juga
punya aspek positif seperti lompatan penghasilan, dan yang paling jelas adalah
pengetahuan atau pengalaman.

Semua orang kaya dan pelaku bisnis yang berkualitas adalah orang-orang
yang berani mengambil risiko. Keberhasilan mereka bukanlah hasil untunguntungan.
Orang bermental kaya tak pernah tertarik dengan permainan
tebak-tebak berhadiah. Setiap resiko yang mereka ambil selalu diiringi dengan
berbagai latihan, dipadukan dengan improvisasi yang penuh perhitungan.
Ketika memulai usaha, dia memutuskan untuk siap menerima resiko apapun,
termasuk kegagalan terpahit sekalipun. Ketika sebuah keputusan dijalankan, dan
hasil yang diharapkan tak segera terlihat, dia bersabar. Begitu resiko pertama
muncul, dia pun tak lantas berkecil hati. Resiko-resiko berikutnya dia pelajari,
hingga setelah ke sekian kali gagal, dia menuai sukses. Peluang besar yang
selalu menyertai setiap resiko inilah yang membuat pengusaha selalu berani
menghadangnya.

Menandatangani kontrak besar, menjalin kerja sama dengan mitra, melakukan
investasi, hingga melakukan ekspansi ke pasar yang lebih luas berarti
menempatkan usahanya di tempat yang bukan lagi status quo. Perubahan
demi perubahan akan menyertai setiap keputusan yang diambilnya. Dan itu
mengandung resiko, sekaligus memberikan peluang.

Menghadapi resiko adalah kemestian kehidupan. Artinya, berani atau tidak
berani, semua manusia selalu berhadapan dengan resiko. Dalam keseharian
mereka, resiko selalu hadir dalam berbagai bentuk. Ketika Anda memutuskan
untuk menunda cicilan kendaraan karena uangnya hendak dialokasikan untuk
keperluan lain yang lebih mendesak, Anda sedang mengambil resiko. Bahkan
ketika Anda memilih mengenakan kaus dan bukan kemeja hari ini, pasti ada
resiko yang sudah Anda perhitungkan. Disadari atau tidak, semua orang
pasti berhadapan dengan hukum sebab akibat. Apapun perbuatan Anda pasti
mengundang resiko tertentu—yang baik dan yang buruk.

Mengambil resiko adalah bagian integral dari bisnis maupun kehidupan.
Resiko adalah bagian dari hidup.

Jadi, kemampuan mengambil resiko itu sebenarnya inheren dalam diri kita
masing-masing. Yang membedakannya adalah porsi latihan yang dilakukan
oleh masing-masing individu. Mayoritas orang cenderung untuk memilih hidup
aman di masa sekarang, tanpa peduli apakah di masa datang mereka juga
aman. Yang penting sekarang senang, besok urusan belakangan. Sayang sekali.

Memang, tak ada yang salah dengan pilihan hidup nyaman di masa sekarang.
Yang perlu dipertimbangkan dengan cermat adalah resiko di masa depan. Jika
kita tahu bahwa pilihan ini akan membahayakan masa depan, maka langkah
yang paling bijak adalah mengantisipasinya mulai dari sekarang.

Menurut saya, cara yang terbaik untuk menghindari resiko adalah dengan
mengambil resiko itu sendiri. Artinya, untuk menghindari resiko di masa depan,
maka langkah yang terbaik adalah mengambil resiko itu saat ini. Dengan begitu,
setidaknya kita bisa memprediksi apa yang akan terjadi lima atau 10 tahun
mendatang, berdasarkan kondisi yang sedang kita jalani sekarang. Jika kita
cemas menghadapi resiko tersebut dalam 5 atau 10 tahun mendatang, maka
langkah yang terbaik adalah bersikap seolah resiko itu sudah berlaku sekarang.
Berpikir lima hingga sepuluh tahun ke depan adalah kunci untuk mengelola
resiko dan menjadikannya peluang.

Jika kelakuan saya saat ini akan membuat saya terlilit utang riba lima tahun
mendatang, maka sebaiknya saya mengambil resiko itu sekarang. Apa yang
harus saya lakukan? Keputusan apa yang harus saya ambil SAAT INI agar lima
tahun mendatang saya tak perlu terlibat riba?

Sayangnya, kenyataan yang sering saya temui adalah: lebih banyak orang yang
memilih menghindari risiko karena takut akan kehilangan sesuatu. Padahal,
berdiam diri bukan hanya membuat bisnis Anda stagnan, tapi juga terancam
runtuh. Tanpa keberanian mengambil resiko, Anda akan segera dilibas oleh
kompetitor yang lebih dinamis di pasaran. Mereka tak memahami, bahwa
ketakutan itu adalah ilusi—yang lagi-lagi berasal dari karakter miskin. Dan ilusi
itu akan lenyap begitu sebuah tindakan nyata dilakukan.

Coba kita perhatikan, bagaimana orang-orang kaya menghadang resiko. Mereka
berpikir, bahwa resiko sebuah keputusan bisnis adalah menjadi orang miskin,
atau menjadi orang yang lebih kaya lagi. Mereka tak menghindari resiko, dan
memilih menjalaninya dengan kalkulasi yang tepat. Mereka cerdik mengambil
resiko yang rendah dengan peluang keberhasilan yang tinggi. Anggapan
kebanyakan orang bahwa high risk akan menghasilkan high reward sama sekali
tidak berlaku bagi mereka. Penghasilan yang tinggi tidak selalu diperoleh
dengan resiko yang tinggi. Orang bermental kaya akan memilih low risk dengan
high reward.

Cara yang terbaik untuk menghindari resiko adalah dengan mengambil
resiko itu sendiri.

Sebagai pengusaha, saya juga berkali-kali berhadapan dengan resiko. Sebelum
mendirikan Balimuda, saya bekerja di sebuah perusahan distributor alat berat
selama lima tahun, kemudian pindah ke perusahaan distributor mobil. Di tahun
pertama, jabatan saya supervisor tentu dengan penghasilan tingkat supervisor
dan masih dengan jabatan supervisor di tahun ke lima maka tahun 2000, saya
memutuskan keluar dari perusahaan ini.

Sahabat saya sesama supervisor berkata, “Berani banget kamu! dalam kondisi
ekonomi sulit seperti ini, kamu ambil resiko meninggalkan posisi mapan di sini.”
Tentu Anda juga ingat, tahun 2000 memang berat. Selain akibat krisis global,
perekonomian Indonesia masih mencari bentuk setelah reformasi dan huru hara
ekonomi politik tahun 1998.

Kepadanya saya katakan, ”Sebenarnya kamu yang berani, kok mau bertahan
disini?” Mengapa saya berkata seperti itu? Karena dalam banyak hal, saya dan
dia sudah bisa memprediksikan karir yang akan mandeg pada posisi paling
tinggi sebagai manajer, tidak peduli sehebat apapun kami bekerja. Dugaan
kami benar. 15 tahun kemudian, saya bertemu dengan sahabat saya tadi, dan
jabatannya masih supervisor.

Maka pada tahun 2000 itu, saya putuskan keluar dan bergabung di sebuah grup
perusahaan tanah air, yang salah satu anak usahanya adalah televisi swasta
nasional. Ketika baru bergabung, tekad saya sudah jelas: lima tahun ke depan,
saya harus keluar dan mempunyai usaha sendiri.

Tahun kedua di perusahaan baru, saya mulai merintis usaha sendiri. Di sela
kesibukan saya sebagai karyawan, saya menekuni usaha penyewaan alat berat
untuk pertambangan di kawasan Yogyakarta. Saya memilih alat berat karena
setidaknya saya punya pengetahuan di bidang ini, saat saya bekerja di distributor
alat berat. Jadi, saya memang mengambil resiko, tapi tidak asal bikin bisnis. Saya
memilih bisnis yang saya kenal dengan baik.

Resiko pilihan saya adalah bekerja lebih keras, karena harus menghadapi dua
pekerjaan sekaligus. Saya punya usaha baru yang perlu pengawasan penuh,
sekaligus menjadi karyawan. Berat memang, tapi itu resiko yang harus saya
terima.


“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehingga
mereka mau mengubah nasib mereka sendiri.”
(QS Ar Ra’ad; 11)

Akhirnya, tepat pada 17 Agustus 2004, saya memutuskan untuk keluar dari
perusahaan terakhir tempat saya bekerja. Posisi saya di perusahaan itu sedang
empuk-empuknya. Selain menjadi eksekutif terpercaya, kenaikan gaji saya juga
selalu signifikan. Saya tinggalkan semua kenyamanan, demi menghadang resiko
lagi. Perhitungan saya, kemenangan akan berpihak kepada saya.

Lepas dari status profesional dan resmi jadi pengusaha merdeka tentu sangat
memacu adrenalin. Tapi ternyata perasaan itu hanya sesaat. Begitu bisnis saya
mulai bergulir, saya justru merasa jauh dari kemerdekaan. Entah berapa kali
saya mengalami kegagalan, saya tak ingat lagi. Saya mencoba bersabar, dan
berharap keadaan membaik. Sementara itu, saya terus menjalaninya dan terus
berusaha. Puncaknya, setelah jatuh bangun selama 5 tahun saya justru terjebak
utang hingga Rp 62 miliar. Di saat terhimpit itu, keyakinan saya tetap kuat. Orang
yang sekarang sukses dan hidup kaya, pasti pernah bahkan sering mengalami
kegagalan.

Saat itu, dalam menghadapi resiko demi resiko, saya tidak melakukannya dengan
membabi buta. Ada beberapa langkah yang saya lakukan untuk memperoleh
low risk high return. Sebelum mengambil keputusan yang bisa mendatangkan
resiko, saya akan mempertimbangan pertanyaan berikut :

• Apakah ada resiko saya harus melanggar aturan agama? Sebelum yang
lain-lain, saya harus pastikan bahwa keputusan bisnis yang saya lakukan
sesuai dengan kaidah agama. Saya sudah harus bisa memperkirakan apakah
di tahap tertentu, saya harus melakukan kecurangan agar bisnis saya maju?
Apakah saya harus mendzalimi orang lain? Apakah saya akan terlibat riba?
Jika ada, maka saya wajib berhenti, dan menjajal peluang lain. Jika saya bisa
memastikan bahwa semua tahap berada di koridor agama, maka akan saya
lanjutkan ke pertanyaan berikutnya.

• Apa yang bisa saya lakukan untuk menekan resiko? Pengusaha pasti
paham bahwa resiko itu kadang jelas terlihat sejak awal, kadang muncul
begitu saja. Apa yang saya akan lakukan jika muncul resiko yang tidak diduga?
Misalnya, saya memutuskan untuk membuka gerai makanan beku buatan
rumah. Resiko yang saya perkirakan adalah kalah bersaing dengan kompetitor
yang sudah mapan. Mungkin saya sudah punya strategi menghadang resiko
ini. Bagaimana dengan resiko kenaikan tarif dasar listrik yang mendadak
diterapkan untuk industri rumah?

• Sebelum mengambil RESIKO, tanyakan :
• Apakah ada resiko saya harus melanggar aturan agama?
• Apa yang bisa saya lakukan untuk menekan resiko?
• Apakah saya punya rencana cadangan?
• Bagaimana kemungkinan gagalnya?
• Sejauh apa saya sanggup menghadapi resiko?
• Apa pendapat mentor saya?
• Apa kata naluri saya?

• Apakah saya punya rencana cadangan? Jelas, saat menjalankan sebuah
keputusan yang berasal dari pertimbangan matang, saya wajib optimis.
Namun demikian, rencana cadangan pun wajib saya siapkan bersamaan. Jadi
begitu rencana utama gagal, maka rencana cadangan tersebut bisa langsung
digunakan.

• Bagaimana kemungkinan gagalnya? Pertanyaan ini sering menjebak para
pengusaha, dan banyak yang tak mau menjawabnya dengan jujur. Jika saya
menemukan peluang yang menjanjikan resiko nol, maka saya wajib berhatihati.
Jika saya tak bisa menemukan resiko kegagalan yang mungkin muncul,
berarti saya belum tahu banyak tentang bidang itu. Saya harus ingat bahwa
semua peluang bisnis pasti ada resikonya.

• Sejauh apa saya sanggup menghadapi resiko? Ada pengusaha yang berani
menghadang resiko apapun setiap tahun, ada yang lebih sering, ada juga yang
hanya berani seumur hidup sekali. Bagaimana perasaan saya setelah mengambil
keputusan? Jika keputusan itu membuat tekanan darah saya terus naik, maka
saya tak akan mengambil resiko serupa di kemudian hari. Itu pertanda saya
tak sanggup menghadangnya. Saya harus turunkan spesifikasinya. Caranya,
perkecil nominal rupiah yang dilibatkan, dan lakukan dalam jeda waktu yang
lebih lama. Misalnya, jika menambah toko baru setiap enam bulan membuat
saya gelisah, maka saya akan menambah toko baru setahun sekali saja. Jika
tensi saya sudah stabil, mungkin saya akan mencobanya lagi enam bulan
sekali, dan lihat akibatnya. Yang bisa menentukan kesanggupan saya adalah
diri saya sendiri.

• Apa pendapat mentor saya? Kita sudah membahas perlunya mentor di
bagian sebelumnya. Dalam mengambil keputusan yang beresiko, saya perlu
mendengarkan pandangan orang-orang yang berpengalaman di bidang yang
hendak saya jajal. Bukan berarti saya jadi tak punya pandangan sendiri dan
sepenuhnya menuruti mereka. Saya tetap bisa melakukan improvisasi dengan
cara yang benar. Yang saya perlukan adalah informasi yang memadai dari sudut
pandang pengetahuan dan pengalaman mereka. Semua informasi itu akan
membantu saya menentukan keputusan yang tepat, dan siap menghadapi
resiko yang mungkin muncul.

• Apa kata naluri saya? Jika saya sudah berkali-kali gagal, maka secara sadar
maupun tidak, saya jadi tahu gejala-gejala sebelum kegagalan itu terjadi.
Naluri saya juga bisa memberitahu, bahwa bisnis ini cocok dengan saya atau
tidak. Jika saya merasa punya pengetahuan dan pengalaman yang memadai,
maka saya bisa mendengarkan naluri saya. Namun, jika naluri dan logika
saya berlawanan, saya akan segera berhenti berhenti. Kemungkinan besar,
penyebabnya adalah penggalan informasi yang belum saya ketahui. Saya akan
lebih banyak mencari informasi, sebelum membawa bisnis saya menghadang
resiko.

Setelah Anda menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, apakah dijamin akan
berhasil? Tentu tidak. Jika ada jaminan berhasil, bukan resiko namanya. Namun
dengan memastikan ketujuh pertanyaan tersebut, maka Anda memperkecil
resiko dan memperbesar peluang. Jika pun Anda tetap gagal, maka Anda akan
mampu menghadapi resiko tersebut tanpa guncangan besar dalam kehidupan
Anda. Di sisi lain, Anda akan memperoleh pengalaman berharga yang
mempertajam tindakan Anda ke depan. Karena keberhasilan tidak selalu berupa
angka, dan tidak selalu dipanen saat ini juga!.

Cepat atau lambatnya sebuah masalah selesai bukan tergantung dari besar
atau kecilnya masalah itu sendiri, namun tergantung bagaimana cara kita
melihat masalah itu
Baca Juga :